Bintang Gemerlap di Langit Gelap

Bintang Gemerlap di Langit Gelap
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Prih Sarnianto

Ledakan krisis ekonomi global yang membuat langit bisnis gulita telah menampakkan kilau seorang John Alfred Paulson yang dua tahun lalu nyaris tak terdengar namanya. Apa kiat sang jenius sehingga hedge fund yang dikelolanya meraup keuntungan akbar ketika yang lain terpuruk?

Ketika langit gelap, kerlap-kerlip bintang jelas terlihat. Itulah yang saat ini terjadi di jagat bisnis. Di tengah perekonomian yang gulita, sosok tersembunyi semacam John Alfred Paulson tampak gemerlap.

Paulson, misalnya. Pada 2008, ketika industri hedge fund rata-rata anjlok 18%, Paulson & Co. yang dia komandani meroket 25% setelah dengan gesit dia melakukan short trading saham-saham perbankan.

Keberhasilan Paulson ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari sebuah strategi matang yang membuatnya panen raya pada 2007. Melawan arus dengan bertaruh bahwa industri subprime mortgage bakal tumbang, pada 2007 itu dia membawa para investor Paulson & Co. menikmati imbal-hasil 600%. Dana yang dikelola Paulson meroket US$ 15 miliar, dan dia sendiri mengantongi US$ 3,7 miliar — jauh lebih gede ketimbang George Soros yang, melalui spekulasi valuta asing, pada 1990-an meraup US$ 1 miliar dengan tumbangnya poundsterling.

“Jumlah fulus yang diraup Paulson itu,” tulis The Wall Street Journal dan media massa bisnis lainnya, “tertinggi dalam sejarah industri keuangan.”

Sebagai gambaran, tambahan kekayaan pada 2007 tersebut membuat nama Paulson di jajaran 400 Orang Amerika Terkaya versi Forbes meroket dari peringkat ke-165 jadi ke-78. Kekayaan yang US$ 6 miliar lebih juga menempatkan Paulson di peringkat ke-368 Jajaran Billionaires Dunia versi majalah yang sama.

Dalam bisnis yang bersifat zero-sum game itu, kalangan perbankan yang melakukan bisnis dengan Paulson satu per satu berguguran. Ada dilema moral di sini. Kalau Paulson sudah lama tahu bahwa Lehman Brothers dan lain-lain — bank-bank investasi yang semuanya bullish terhadap berbagai sekuritas berbasis subprime mortgage — bakal bangkrut, apakah dia tidak jahat telah mendiamkan saja semua itu terjadi, bahkan secara sistematis mengambil keuntungan dari keruntuhan banyak pemain lain?

Petanyaan keras seperti ini telah lama ditudingkan kepada “binatang ekonomi” yang paling dibenci di Wall Street — para short-seller. Mengambil keuntungan dari spekulasi dalam jumlah besar, para trader yang terus mengubah-ubah portofolio saham mereka guna menghindari settlement inilah yang membuat pasar modal yang gonjang-ganjing jadi ambruk.

Karena Paulson yang paling banyak meraup keuntungan, dia dijuluki “Raja Short-seller.” Jadi, tak mengherankan pula kalau dia yang paling banyak mendapat tudingan sebagai si serakah yang menjerumuskan banyak orang ke jurang kehancuran finansial.

Namun, tak ada pasal yang bisa digunakan buat menjerat Paulson. Semua yang dilakukannya legal dari sudut pandang mana pun. Sebab itu, dia tak merasa bersalah.

Bahkan, dengan santai, Paulson secara rinci menceritakan kepada media massa semua langkah yang membuatnya memecahkan rekor capital gain Soros — pertaruhan besar sejak 2005 bahwa gelembung subprime mortgage bakal meletus. Pertaruhan yang melibatkan miliaran dolar dan lusinan instrumen keuangan yang buntutnya, itu tadi, membuat Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Tak lama kemudian, masih pada September 2008, Merril Lynch melebur ke Bank of America, Morgan Stanley dan Goldman Sach mengubah haluan bisnis jadi perusahaan holding perbankan tradisional, indeks Dow Jones terpuruk.

Kendati tak bersalah di hadapan hukum, tak urung Paulson dan empat datuk industri hedge fund lainnya — Soros, Philip Falcone dari Harbinger Capital Partbers, Ken Griffin dari Citadel Investment Group, dan James Simons dari Renaissance Technologies — dipanggil ke Washington. Oleh U.S. House of Representative, mereka dipaksa jadi “narasumber” untuk dengar pendapat yang diliput secara nasional di hadapan Committee on Oversight and Government Reform yang dibentuk DPR Amerika Serikat itu.

Paulson dan lain-lain itu dipilih karena kelimanya adalah fund manager berpenghasilan tertinggi pada 2007 menurut Majalah Alpha, publikasi resmi asosiasi industri hedge fund di AS. Sebagai pemimpin dengar pendapat adalah Henry Waxman, Demokrat asal California yang pernah memaksa para eksekutif industri tembakau untuk menyatakan, di bawah sumpah, bahwa rokok tak menyebabkan ketagihan.

Di mata para CEO, barisan short-seller di Wall Street tak sekadar menarik keuntungan dari nasib sial yang menghanguskan bisnis kalangan korporasi. Orang-orang semacam Paulson itu, menurut para nakhoda korporasi, ikut mengipasi. Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan Kongres, Dick Fuld (dari Lehman Brothers) dan Alan Schwartz (mantan CEO Bear Stearns) terang-terangan menuduh para short-seller dan penyebar rumor sebagai pihak yang bikin perusahaan mereka gulung tikar.

Tuduhan miring begini tentu saja dibantah oleh kalangan short-seller. Seorang manajer hedge fund bernama Jim Chanos bahkan bercerita bahwa sore sebelum Bear Stearns ambruk, Schwartz menghubunginya. Waktu itu, sebagai CEO Bear Stearns, Schwartz memintanya datang pagi-pagi ke CNBC dan ngomong di Squawk Box, program berita bisnis di televisi berbasis Internet itu, bahwa dia masih nasabah Bear Stearns, uangnya masih dia percayakan di situ dan semua baik-baik saja.

“Alan, bagaimana aku tahu kalau segalanya (di Bear Stearns) baik-baik saja?” jawab Chanos. “Apa memang semuanya baik-baik saja?”

“Jim, kami akan melaporkan rekor laba Senin pagi nanti.”

“Alan, kau sudah bikin aku jadi insider. Aku nggak tanya info ini, dan aku juga yakin ini juga nggak relevan. Dari yang kutahu, para investor sudah mengurangi margin balance dengan kalian, dan itu bikin dana kalian makin ketat.”

“Well, ya, sampai batas tertentu, tapi kami akan baik-baik saja.”

Momen yang diceritakan ini adalah Kamis sore, pukul 6.15, sebelum Bear Stearns kolaps. Dan ironisnya, hanya beberapa saat setelah Chanos melakukan pertemuan dengan Sam Molinaro, CFO Bear Stearns, yang mengaku terus terang: “Kami sudah habis. Kami bangkrut. Kami perlu dana malam ini dan nggak dapat…”

Jadi, masih tutur Chanos, yang dilakukan Schwartz waktu itu adalah “membujuk nasabah terbesar perusahaanya untuk ke CNBC esok paginya dan bilang segalanya baik-aik saja, padahal tidak.” Setelah diam sejenak, dia menegaskan, “Dan kami tahu betul mereka tidak baik-baik saja.”

Singkat cerita, Chanos tidak ke CNBC dan Bear Stearns jatuh bangkrut walau The Fed, Bank Sentral AS, telah berupaya menolong mereka. “Alan Schwartz kukuh mengatakan ‘short-seller yang membuat mereka jatuh’,” ujarnya sengit. “Padahal, siapa yang mereka minta bikin keterangan palsu pada pagi ketika mereka ambruk? Kami, short-seller terbesar dunia. Anda ingin bicara tentang etika dan siapa yang benar dalam masalah ini? It’s unbelievable.”

Dalam hal integritas, Chanos punya cukup reputasi. Dialah, antara lain, yang menguak skandal Enron. Kalau Paulson, dia cuek saja dengan segala macam kritik dan tuduhan miring, termasuk terhadap pilihan karier dan apa yang dilakukannya. Kelahiran 14 Desember 1955 ini memang lebih mengandalkan logika ketimbang emosi dalam menilai setiap keadaan. Simak saja bagaimana dia membukukan sukses pada puncak resesi tahun lalu.

Pada awal 2008, tuturnya, kebanyakan orang yakin bahwa perekonomian AS tak bakal terperosok ke dalam resesi — paling-paling cuma perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan pulih pada paruh kedua tahun itu. Lalu, ketika keadaan belum membaik, orang banyak juga masih optimistis, “Kita memang belum membaik, tapi paling juga masih terkena perlambatan (bukan resesi).”

Paulson heran melihat orang-orang masih begitu optimistis. “Sekarang, setelah terjadi resesi, mereka mengakui terjadinya resesi. Tapi, lagi-lagi, menganggap ‘paling dua atau tiga kuartal lalu pulih’. Jadi, mereka selalu underestimate tingkat keparahannya.”

Pandangan Paulson terhadap kondisi ekonomi AS jauh lebih gelap ketimbang kebanyakan pelaku bisnis. Dia yakin, resesi akan bertahan sampai 2010 dan pengangguran bakal menembus 9% — meningkat cukup tinggi dari 7% saat ini. “Kita masih akan terperosok jauh lebih dalam sebelum mencapai dasar,” ujarnya.

Sekarang, terbukti dengan pemanggilannya oleh Committee on Oversight and Government Reform, suara Paulson mulai didengar. Penyebabnya bukan hanya karena dia berhasil membukukan laba besar ketika rapor hedge fund lain kebakaran. Lebih dari itu, karena cara Paulson meraup laba tersebut, yaitu dengan mengambil posisi berlawanan terhadap sekuritas subprime ketika semua pemain justru berebut memborong. Dia bertaruh bahwa, selain Lehman Brothers, bank-bank lain seperti Washington Mutual dan Wachovia juga akan tumbang.

Jauh sebelum krisis pecah, misalnya, Paulson menanam US$ 22 juta dalam sekuritas credit default swap yang kemudian terbukti mendatangkan pendapatan US$ 1 miliar ketika Pemerintah Federal memilih untuk tak menolong Lehman Brothers. Artinya, setiap dolar yang ditanam membuahkan US$ 45,45.

Hal lain yang menarik dari seorang Paulson adalah kebersahajaannya. Bos Paulson & Co. yang bermarkas di Rockefeller Center, New York, ini lebih suka joging di Central Park ketimbang mengayun tongkat golf di Shinnecock Hills. Bertubuh sedang, dia berpenampilan old-fashioned: mengenakan kacamata bifocals bergagang kulit penyu dan jas warna abu-abu tua. Bicaranya lancar dan cepat, tetapi suaranya pelan.

Penampilan yang bersahaja ini boleh jadi berakar dari asal-usul Paulson yang datang dari keluarga tak kelewat atas di Queens, kawasan New York yang non-elite. Ayahnya, Alfred, adalah keturunan Norwegia yang masuk ke AS melalui Ekuador. Sebagai akuntan, Paulson Senior bisa mendaki tangga karier sampai menduduki kursi CFO pada Ruder & Finn, perusahaan public relations. Akan tetapi, gen yang menumbuhkan Paulson Junior jadi seorang bankir andal agaknya berasal dari kakek pihak ibu, Arthur Boklan, yang ketika pasar modal AS hancur pada 1929 adalah seorang bankir di sebuah perusahaan Wall Street (yang sekarang sudah bangkrut).

Ada persamaan Paulson Jr. dengan Boklan. Di era Depresi Besar, agaknya sang kakek cukup makmur. Buktinya, menurut data sensus, pada 1930 Boklan mampu menyewa apartemen mahal, US$ 220/bulan, di kawasan Manhattan.

Untungnya, walau cukup berada, Boklan tak begitu memanjakan cucunya. Bahkan dialah yang memperkenalkan prinsip-prinsip kapitalisme, termasuk kemandirian, kepada Paulson kecil. Ketika Paulson masih duduk di bangku sekolah dasar, sang kakek mendorong cucunya membeli permen dalam jumlah besar di supermarket lalu menjajakannya secara eceran ke teman-temannya di sekolah dengan harga jauh lebih tinggi.

Dengan berkembangnya “bisnis”, apresiasi Paulson terhadap economies of scale dan kecenderungan komoditas tertentu untuk dibanderol secara salah — kelewat mahal atau terlalu murah — karena keabaian orang banyak juga kian tumbuh. Selain itu, dorongan terus menerus dari sang kakek juga membuatnya kian asyik mendulang dolar. Hubungan dengan kakeknya ini mungkin yang membuat Paulson, kelak sepanjang kariernya, banyak menghabiskan waktu untuk belajar di bawah bimbingan para tokoh Wall Street yang lebih senior.

Selulus SMA di Brooklyn, Paulson kuliah di New York University yang, pada 1970-an, banyak mengadakan seminar populer yang menampilkan John Whitehead, mitra senior pada Goldman Sachs. Di universitas bergengsi ini, Paulson muda juga terpesona oleh ceramah Robert Rubin (yang kemudian jadi Menteri Keuangan pada Pemerintahan Bill Clinton dan sekarang penasihat ekonomi Barack Obama). Waktu itu, diakui sebagai mitra Goldman Sachs paling brilian (dan terkaya), Rubin memperkenalkan Paulson dengan rahasia risk arbitrage. Tak mengherankan, Paulson yang lulus nomor satu di angkatannya pada 1978 nantinya punya visi besar di bisnis arbitrase.

Meneruskan kuliah di Harvard Business School, Paulson mendapat kesempatan bertemu Jerry Kohlberg, kampiun bisnis leveraged-buyout (LBO). Dia belum pernah dengar nama mitra pendiri KKR ini, tetapi seorang kawannya bilang, “Lupakan investment banking. Kau harus dengar ceramah Jerry Kohlberg. Orang itu meraup fulus lebih banyak ketimbang siapa pun di Wall Street.”

Dan Paulson lebih dari sekadar terpukau ketika Kohlberg menggambarkan bagaimana dia mewujudkan LBO dari sebuah perusahaan hanya dengan modal tunai US$ 500 juta dan beroleh pinjaman bank US$ 20 juta dengan aguan aset perusahaan itu sendiri. Setelah disehatkan, perusahaan tersebut dilego dan memberikan keuntungan US$ 17 juta dua tahun kemudian.

Memperoleh gelar MBA sebagai Baker Scholar (penghargaan akademis puncak untuk mahasiswa Harvard yang lulus dengan nilai top 5%), Paulson segera kerja keras cari uang. Waktu itu, pada 1980, pekerjaan paling hot bukanlah investment banker melainkan management consulting. Maka, berbekal predikat summa cum laude, dia dengan mudah masuk Boston Consulting Group (BCG).

Namun Paulson segera sadar, walau gaji awal konsultan jauh lebih besar ketimbang investment banker, seorang mitra di BCG pun tak mungkin mengumpulkan uang yang dia harapkan bisa jadi modal buat mendirikan bisnis sendiri. Maka, ketika pada 1982 bertemu Kohlberg, dia lalu hengkang ke Wall Street.

Oleh Kohlberg, Paulson diperkenalkan dengan Leon Levy dari Oppenheimer & Co. yang segera mengajaknya bergabung ketika Levy mendirikan bisnis baru dengan bendera Oddisey Partners. Dua tahun kemudian, ketika pasar mulai bullish pada 1984, dia melompat ke Bear Stearn sebagai investment-banking associate. Alasan kepindahannya ini sederhana: Paulson muda sadar bahwa di Oddisey dia tak bakal mendapat pelatihan yang dibutuhkannya untuk mengibarkan diri sebagai investment banker yang mumpuni.

Karier Paulson di Bear Stearn cukup melejit. Dalam tempo empat tahun dia telah dipromosikan jadi direktur pengelola. Kendati demikian, dia tak melupakan obsesinya. Maka, pada 1988, Paulson mendirikan bisnis sendiri. Waktu itu usianya baru 32 tahun.

Mulanya, Paulson masuk ke bisnis real estate dan bir ― dia bahkan jadi salah satu investor awal bisnis yang kemudian dikenal sebagai Boston Beer Co. Satu dasawarsa kemudian, dia memutuskan masuk ke bisnis yang memikat paling banyak mantan investment banker dan trader: hedge fund. Ini langkah yang tergolong berani. Maklum, modalnya cuma US$ 2 juta, sangat kecil bahkan untuk ukuran 1994.

Perusahaan hedge fund Paulson diawali dua orang: Paulson sendiri dan seorang asiten. Kantornya di Park Avenue juga mungil, dipakai bareng dengan beberapa perusahaan hedge fund kecil lainnya. Dan, karena serba cekak, bisnisnya juga tumbuh lambat.

Dalam keadaan demikian, Paulson mengelola uangnya dengan sangat hati-hati sehingga rekam jejaknya bagus. Seperti hedge fund umumnya, dia memungut fee 20% dari keuntungan dan 1% dari aset — cukup bagus ketika dana yang dikelola baru US$ 20 juta dan tak membukukan prestasi hebat seperti sekarang.

Memasuki akhir 1990-an, terbentuklah tech bubble yang diikuti dengan pecahnya gelembung bisnis teknologi tersebut pada 2001. Bagi Paulson yang mengambil posisi short terhadap saham perusahaan teknologi yang bertaruh bahwa akan terjadi gelombang merger, bubble burst ini menandai awal masa kejayaannya.

Bagaimana tidak, dengan meletusnya gelembung bisnis teknologi, dana yang dikelola Paulson melejit 5% dan melesat lagi 5% pada 2002. Kenyataan ini menunjukkan kepiawaian Paulson menakhodai perahu bisnisnya sehingga terhindar dari gosong karang yang membuat banyak hedge fund lain karam. Nama Paulson yang berkibar membuat investor membanjir masuk. Jangan heran, pada 2003 dana yang dikelola baru US$ 600 juta, dua tahun kemudian telah menggunung jadi lebih dari US$ 4 miliar.

Sukses ini mendorong Paulson beralih ke instrumen keuangan yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan. Pada 2005 itu, Paulson masih bisa menjaga agar namanya (dan keluarganya) jauh dari publisitas media massa walau mereka telah mulai menikmati simbol status sukses ― rumah besar di kawasan bergengsi, termasuk sebuah di Hamptons, pinggiran Kota New York (rumah tampaknya merupakan satu-satunya kemewahan yang dinikmati Paulson).

Paulson mengendus kemungkinan terjadinya badai ekonomi di pasar kredit perumahan setelah melihat barometer harga yang terus melambung. Pada 2005, keuntungan yang bisa diraup dari investasi di sekuritas yang paling berisiko sudah sangat tak sebanding dengan risiko yang diambil. Harga rumah (dan sekuritas yang terkait), menurutnya, sudah tak masuk akal. Sebab itu Paulson yakin, dia akan menangguk untung lebih gede kalau mengambil posisi short ― bertaruh bahwa harga dari sekuritas yang berisiko itu bakal jatuh.

Di sini, Paulson mengamalkan pelajaran yang diperolehnya sejak awal terjun ke bisnis investasi: “Watch out for the downside; the upside will take care for itself.” Yang harus diperhatikan adalah penurunan pasar, karena pasang naik dengan sendirinya bakal meningkatkan bisnis.

“Kami merasakan bahwa sektor perumahan terus menggelembung. Harga rumah sudah kelewat terapresiasi dan kemungkinan besar akan ambruk,” tutur Paulson. “Kami tentu saja nggak bisa ambil posisi short terhadap rumah, karena itu kami fokus ke kredit perumahan.” Caranya, itu tadi, dengan mengambil posisi short di sekuritas yang dia yakin bakal kolaps dengan ambruknya pasar perumahan.

Peluang terbesar diberikan oleh sekuritas yang paling sampah, the junkiest securities, dari pasar perumahan: subprime. Penetapan harga sekuritas subrime ini,” Paulson meyakinkan, “sungguh absurd,”

Kita lihat saja. Sekuritas subprime mendapat peringkat triple-B ― dengan kata lain hanya setingkat di atas junk atau sampah ― tetapi diperdagangkan hanya satu percentage point di atas Treasury bills yang bebas risiko. Absurditas ini menunjukkan satu hal: adanya kredit murah yang melimpah.

Paulson bisa dipastikan bukan satu-satunya manajer dana yang bertaruh bahwa pasar subprime bakal ambruk. Namun, dialah yang meraup keuntungan terakbar dan dengan hasil paling konsisten dari terpuruknya industri perbankan. Sebab, Paulson mampu mengenali lalu bertindak terhadap hal yang tak terbayangkan orang banyak itu — bahwa kalangan perbankan, yang memborong hampir seluruh sekuritas subprime, tak tahu betul arti sekuritas yang mereka pegang dan berapa nilai sebenarnya.

Dengan demikian, pada dasarnya, peringkat triple-A para raksasa industri perbankan semacam Merrill Lynch, UBS dan Citigroup itu pada dasarnya didukung oleh kolateral yang peringkatnya paling banter subprime, sehingga peringkat dari sekuritas yang diterbitkan para kampiun perbankan tadi tak relevan lagi.

“Para kampiun perbankan itu merasa,” ujar Paulson, “dengan memiliki 100 obligasi triple-B yang berbeda mereka telah meminimalkan risiko dari masing-masing obligasi. Padahal, seluruh obligasi tersebut sama saja.” Ibaratnya, masih menurut Paulson, seperti menyimpan 100 apel yang beracun. “Obligasi tersebut sama geraknya.”

Yang membedakan Paulson dari manajer hedge fund lain adalah, dia tahu betul bahwa tak seorang pun bisa tahu pasti nilai sekuritas yang kompleks tersebut, termasuk para analis di Merrill Lynch, UBS dan Citigroup. Nah, para manajer hedge fund lain tak ada yang berani ambil posisi short terhadap para kampiun perbankan tersebut karena meraka tak percaya bahwa lembaga keuangan yang demikian besar tak sadar terhadap risiko investasinya sendiri.

“Kami yakin bahwa banyak bank dan pialang yang amat overleveraged dengan aset yang sangat berisiko, sehingga penurunan kecil saja dari nilai aset tersebut akan membuat ekuitas tersapu dan utang menumpuk,” tutur Paulson.

Paulson dan para analisnya tahu betul bahwa para raksasa perbankan menyimpan segudang subprime. Anehnya, itu tadi, harga sekuritas yang mereka terbitkan tak jatuh ― artinya, pasar belum tahu apa yang terjadi. Maka, pada 2007, dia membawa Paulson & Co. menginvestasikan sejumlah sangat besar aset ke posisi short, terutama terhadap lembaga keuangan yang paling overleveraged, termasuk Wachovia dan Washington Mutual.

Lalu, ada pula derivatif. Karena semua toxic waste yang ada di neraca mengancam kesehatan bank-bank tadi, Paulson memastikan diri bahwa dia siap. Untuk itu, diborongnya credit default swaps, salah satunya US$ 22 juta terhadap Lehman Brothers — yang pada dasarnya adalah “polis asuransi” yang akan mendatangkan fulus kalau obligasi Lehman gagal bayar.

Walau tak memiliki selembar pun obligasi Lehman (yang dia tahu pasti akan gagal bayar), Paulson memperoleh US$ 1 miliar lebih dari investasinya yang US$ 22 juta itu. Langkah yang sama terhadap bank-bank Inggris, termasuk Royal Bank of Scotland (RBS) dan HBOS yang sangat terpapar kredit perumahan, juga menghasilkan US$ 1 miliar lebih. Ibaratnya, dia mengasuransikan rumah di Aceh dan pantai Lautan Hindia di Thailand, Madagaskar dan sebangsanya yang sama sekali tak dimilikinya, sesaat sebelum tsunami menghantam.

“Kami mengambil posisi short atau long terhadap sebuah perusahaan tergantung pada fundamental keuangan perusahaan tersebut, bukan gerakan indikator keuangan jangka pendek,” Paulson meyakinkan.

Agar tak dicap sebagai seorang robber baron, Paulson menyumbang US$ 15 juta ke Center for Responsible Lending guna membantu para pemilik rumah menghindari penyitaan rumah oleh para pemberi kredit. Testimoninya di DPR pada 13 November 2008 antara lain berisi saran tentang bagaimana Washington membantu kalangan perbankan untuk bangkit kembali ― suatu hal yang menguntungkan semua orang, bukan cuma manajer hedge fund seperti dirinya.

Tak seperti hedge fund lain, ujar Paulson, “Kami tak memasang penghalang atau membatasi nasabah yang ingin menarik dana mereka.” Selain itu, fee yang diminta Paulson & Co. juga besar, 20% plus, kepada para investor yang memiliki investable assets minimal US$ 5 juta (untuk nasabah individu) atau US$ 25 juta (untuk nasabah institusi). Di pihak lain, perusahaan yang memiliki kantor di New York, London dan Hong Kong ini juga ikut menanggung kerugian yang ada.

“Seluruh funds kami ‘high water marks’,” ujar Paulson di hadapan DPR, “artinya, kalau kami bikin dana investor merugi, kami harus menutup kerugian itu dahulu sebelum ikut menikmati keuntungan di masa mendatang.” Lebih dari itu, “Beberapa funds kami juga menerapkan ‘claw back provision’ — yang mewajibkan kami membayar keuntungan dari periode sebelumnya kalau kami merugi secara berturut-turut.”

Masih kurang? “Kami juga menginvestasikan uang kami bersama dengan uang investor,” ujarnya meyakinkan. “Dengan demikian, kami juga sama-sama menanggung rugi dan menikmati keuntungan.” Selain itu, dana yang dikelola boleh dibilang bebas utang.

Paulson terlalu percaya diri dengan kemampuannya sehingga berani ambil risiko besar untuk fee yang juga besar? Mungkin saja. Yang jelas, sepanjang sejarah bisnisnya, nilai aset Paulson & Co. baru turun sekali, yaitu pada puncak krisis moneter Asia 1998 ― dan itu pun cuma 4,9%.

Selain itu, seorang Alan Greenspan juga memercayai keandalan Paulson. Buktinya, pada awal 2008, Chief Bank Sentral AS terlama dan paling berpengaruh ini bersedia menjadi penasihat senior Paulson & Co.

Pembahasan Bintang Gemerlap di Langit Gelap

 

Latar Belakang

 

Ketika langit gelap, kerlap-kerlip bintang jelas terlihat. Itulah yang saat ini terjadi di jagat bisnis. Di tengah perekonomian yang gulita, sosok tersembunyi semacam John Alfred Paulson tampak gemerlap.

Paulson, misalnya. Pada 2008, ketika industri hedge fund rata-rata anjlok 18%, Paulson & Co. yang dia komandani meroket 25% setelah dengan gesit dia melakukan short trading saham-saham perbankan. “Jumlah fulus yang diraup Paulson itu,” tulis The Wall Street Journal dan media massa bisnis lainnya, “tertinggi dalam sejarah industri keuangan.” Sebagai gambaran, tambahan kekayaan pada 2007 tersebut membuat nama Paulson di jajaran 400 Orang Amerika Terkaya versi Forbes meroket dari peringkat ke-165 jadi ke-78. Kekayaan yang US$ 6 miliar lebih juga menempatkan Paulson di peringkat ke-368 Jajaran Billionaires Dunia versi majalah yang sama.

Hal lain yang menarik dari seorang Paulson adalah kebersahajaannya. Bos Paulson & Co. yang bermarkas di Rockefeller Center, New York, ini lebih suka joging di Central Park ketimbang mengayun tongkat golf di Shinnecock Hills. Bertubuh sedang, dia berpenampilan old-fashioned: mengenakan kacamata bifocals bergagang kulit penyu dan jas warna abu-abu tua. Bicaranya lancar dan cepat, tetapi suaranya pelan.

Penampilan yang bersahaja ini boleh jadi berakar dari asal-usul Paulson yang datang dari keluarga tak kelewat atas di Queens, kawasan New York yang non-elite. Ayahnya, Alfred, adalah keturunan Norwegia yang masuk ke AS melalui Ekuador. Sebagai akuntan, Paulson Senior bisa mendaki tangga karier sampai menduduki kursi CFO pada Ruder & Finn, perusahaan public relations. Akan tetapi, gen yang menumbuhkan Paulson Junior jadi seorang bankir andal agaknya berasal dari kakek pihak ibu, Arthur Boklan, yang ketika pasar modal AS hancur pada 1929 adalah seorang bankir di sebuah perusahaan Wall Street (yang sekarang sudah bangkrut).

Ada persamaan Paulson Jr. dengan Boklan. Di era Depresi Besar, agaknya sang kakek cukup makmur. Buktinya, menurut data sensus, pada 1930 Boklan mampu menyewa apartemen mahal, US$ 220/bulan, di kawasan Manhattan.

Untungnya, walau cukup berada, Boklan tak begitu memanjakan cucunya. Bahkan dialah yang memperkenalkan prinsip-prinsip kapitalisme, termasuk kemandirian, kepada Paulson kecil. Ketika Paulson masih duduk di bangku sekolah dasar, sang kakek mendorong cucunya membeli permen dalam jumlah besar di supermarket lalu menjajakannya secara eceran ke teman-temannya di sekolah dengan harga jauh lebih tinggi.

Dengan berkembangnya “bisnis”, apresiasi Paulson terhadap economies of scale dan kecenderungan komoditas tertentu untuk dibanderol secara salah — kelewat mahal atau terlalu murah — karena keabaian orang banyak juga kian tumbuh. Selain itu, dorongan terus menerus dari sang kakek juga membuatnya kian asyik mendulang dolar. Hubungan dengan kakeknya ini mungkin yang membuat Paulson, kelak sepanjang kariernya, banyak menghabiskan waktu untuk belajar di bawah bimbingan para tokoh Wall Street yang lebih senior.

Selulus SMA di Brooklyn, Paulson kuliah di New York University yang, pada 1970-an, banyak mengadakan seminar populer yang menampilkan John Whitehead, mitra senior pada Goldman Sachs. Di universitas bergengsi ini, Paulson muda juga terpesona oleh ceramah Robert Rubin (yang kemudian jadi Menteri Keuangan pada Pemerintahan Bill Clinton dan sekarang penasihat ekonomi Barack Obama). Waktu itu, diakui sebagai mitra Goldman Sachs paling brilian (dan terkaya), Rubin memperkenalkan Paulson dengan rahasia risk arbitrage. Tak mengherankan, Paulson yang lulus nomor satu di angkatannya pada 1978 nantinya punya visi besar di bisnis arbitrase.

Meneruskan kuliah di Harvard Business School, Paulson mendapat kesempatan bertemu Jerry Kohlberg, kampiun bisnis leveraged-buyout (LBO). Dia belum pernah dengar nama mitra pendiri KKR ini, tetapi seorang kawannya bilang, “Lupakan investment banking. Kau harus dengar ceramah Jerry Kohlberg. Orang itu meraup fulus lebih banyak ketimbang siapa pun di Wall Street.”

Dan Paulson lebih dari sekadar terpukau ketika Kohlberg menggambarkan bagaimana dia mewujudkan LBO dari sebuah perusahaan hanya dengan modal tunai US$ 500 juta dan beroleh pinjaman bank US$ 20 juta dengan aguan aset perusahaan itu sendiri. Setelah disehatkan, perusahaan tersebut dilego dan memberikan keuntungan US$ 17 juta dua tahun kemudian.

Memperoleh gelar MBA sebagai Baker Scholar (penghargaan akademis puncak untuk mahasiswa Harvard yang lulus dengan nilai top 5%), Paulson segera kerja keras cari uang. Waktu itu, pada 1980, pekerjaan paling hot bukanlah investment banker melainkan management consulting. Maka, berbekal predikat summa cum laude, dia dengan mudah masuk Boston Consulting Group (BCG).

Namun Paulson segera sadar, walau gaji awal konsultan jauh lebih besar ketimbang investment banker, seorang mitra di BCG pun tak mungkin mengumpulkan uang yang dia harapkan bisa jadi modal buat mendirikan bisnis sendiri. Maka, ketika pada 1982 bertemu Kohlberg, dia lalu hengkang ke Wall Street.

Oleh Kohlberg, Paulson diperkenalkan dengan Leon Levy dari Oppenheimer & Co. yang segera mengajaknya bergabung ketika Levy mendirikan bisnis baru dengan bendera Oddisey Partners. Dua tahun kemudian, ketika pasar mulai bullish pada 1984, dia melompat ke Bear Stearn sebagai investment-banking associate. Alasan kepindahannya ini sederhana: Paulson muda sadar bahwa di Oddisey dia tak bakal mendapat pelatihan yang dibutuhkannya untuk mengibarkan diri sebagai investment banker yang mumpuni.

Karier Paulson di Bear Stearn cukup melejit. Dalam tempo empat tahun dia telah dipromosikan jadi direktur pengelola. Kendati demikian, dia tak melupakan obsesinya. Maka, pada 1988, Paulson mendirikan bisnis sendiri. Waktu itu usianya baru 32 tahun.

Mulanya, Paulson masuk ke bisnis real estate dan bir ― dia bahkan jadi salah satu investor awal bisnis yang kemudian dikenal sebagai Boston Beer Co. Satu dasawarsa kemudian, dia memutuskan masuk ke bisnis yang memikat paling banyak mantan investment banker dan trader: hedge fund. Ini langkah yang tergolong berani. Maklum, modalnya cuma US$ 2 juta, sangat kecil bahkan untuk ukuran 1994.

Perusahaan hedge fund Paulson diawali dua orang: Paulson sendiri dan seorang asiten. Kantornya di Park Avenue juga mungil, dipakai bareng dengan beberapa perusahaan hedge fund kecil lainnya. Dan, karena serba cekak, bisnisnya juga tumbuh lambat.

Dalam keadaan demikian, Paulson mengelola uangnya dengan sangat hati-hati sehingga rekam jejaknya bagus. Seperti hedge fund umumnya, dia memungut fee 20% dari keuntungan dan 1% dari aset — cukup bagus ketika dana yang dikelola baru US$ 20 juta dan tak membukukan prestasi hebat seperti sekarang.

Memasuki akhir 1990-an, terbentuklah tech bubble yang diikuti dengan pecahnya gelembung bisnis teknologi tersebut pada 2001. Bagi Paulson yang mengambil posisi short terhadap saham perusahaan teknologi yang bertaruh bahwa akan terjadi gelombang merger, bubble burst ini menandai awal masa kejayaannya.

Bagaimana tidak, dengan meletusnya gelembung bisnis teknologi, dana yang dikelola Paulson melejit 5% dan melesat lagi 5% pada 2002. Kenyataan ini menunjukkan kepiawaian Paulson menakhodai perahu bisnisnya sehingga terhindar dari gosong karang yang membuat banyak hedge fund lain karam. Nama Paulson yang berkibar membuat investor membanjir masuk. Jangan heran, pada 2003 dana yang dikelola baru US$ 600 juta, dua tahun kemudian telah menggunung jadi lebih dari US$ 4 miliar.

Sukses ini mendorong Paulson beralih ke instrumen keuangan yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan. Pada 2005 itu, Paulson masih bisa menjaga agar namanya (dan keluarganya) jauh dari publisitas media massa walau mereka telah mulai menikmati simbol status sukses ― rumah besar di kawasan bergengsi, termasuk sebuah di Hamptons, pinggiran Kota New York (rumah tampaknya merupakan satu-satunya kemewahan yang dinikmati Paulson).

Whole Problem Case

 

Keberhasilan Paulson ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari sebuah strategi matang yang membuatnya panen raya pada 2007. Melawan arus dengan bertaruh bahwa industri subprime mortgage bakal tumbang, pada 2007 itu dia membawa para investor Paulson & Co. menikmati imbal-hasil 600%. Dana yang dikelola Paulson meroket US$ 15 miliar, dan dia sendiri mengantongi US$ 3,7 miliar — jauh lebih gede ketimbang George Soros yang, melalui spekulasi valuta asing, pada 1990-an meraup US$ 1 miliar dengan tumbangnya poundsterling.

Dalam bisnis yang bersifat zero-sum game itu, kalangan perbankan yang melakukan bisnis dengan Paulson satu per satu berguguran. Ada dilema moral di sini. Kalau Paulson sudah lama tahu bahwa Lehman Brothers dan lain-lain — bank-bank investasi yang semuanya bullish terhadap berbagai sekuritas berbasis subprime mortgage — bakal bangkrut, apakah dia tidak jahat telah mendiamkan saja semua itu terjadi, bahkan secara sistematis mengambil keuntungan dari keruntuhan banyak pemain lain?

Petanyaan keras seperti ini telah lama ditudingkan kepada “binatang ekonomi” yang paling dibenci di Wall Street — para short-seller. Mengambil keuntungan dari spekulasi dalam jumlah besar, para trader yang terus mengubah-ubah portofolio saham mereka guna menghindari settlement inilah yang membuat pasar modal yang gonjang-ganjing jadi ambruk.

Karena Paulson yang paling banyak meraup keuntungan, dia dijuluki “Raja Short-seller.” Jadi, tak mengherankan pula kalau dia yang paling banyak mendapat tudingan sebagai si serakah yang menjerumuskan banyak orang ke jurang kehancuran finansial.

Namun, tak ada pasal yang bisa digunakan buat menjerat Paulson. Semua yang dilakukannya legal dari sudut pandang mana pun. Sebab itu, dia tak merasa bersalah.

Bahkan, dengan santai, Paulson secara rinci menceritakan kepada media massa semua langkah yang membuatnya memecahkan rekor capital gain Soros — pertaruhan besar sejak 2005 bahwa gelembung subprime mortgage bakal meletus. Pertaruhan yang melibatkan miliaran dolar dan lusinan instrumen keuangan yang buntutnya, itu tadi, membuat Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Tak lama kemudian, masih pada September 2008, Merril Lynch melebur ke Bank of America, Morgan Stanley dan Goldman Sach mengubah haluan bisnis jadi perusahaan holding perbankan tradisional, indeks Dow Jones terpuruk.

Kendati tak bersalah di hadapan hukum, tak urung Paulson dan empat datuk industri hedge fund lainnya — Soros, Philip Falcone dari Harbinger Capital Partbers, Ken Griffin dari Citadel Investment Group, dan James Simons dari Renaissance Technologies — dipanggil ke Washington. Oleh U.S. House of Representative, mereka dipaksa jadi “narasumber” untuk dengar pendapat yang diliput secara nasional di hadapan Committee on Oversight and Government Reform yang dibentuk DPR Amerika Serikat itu.

Paulson dan lain-lain itu dipilih karena kelimanya adalah fund manager berpenghasilan tertinggi pada 2007 menurut Majalah Alpha, publikasi resmi asosiasi industri hedge fund di AS. Sebagai pemimpin dengar pendapat adalah Henry Waxman, Demokrat asal California yang pernah memaksa para eksekutif industri tembakau untuk menyatakan, di bawah sumpah, bahwa rokok tak menyebabkan ketagihan.

Di mata para CEO, barisan short-seller di Wall Street tak sekadar menarik keuntungan dari nasib sial yang menghanguskan bisnis kalangan korporasi. Orang-orang semacam Paulson itu, menurut para nakhoda korporasi, ikut mengipasi. Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan Kongres, Dick Fuld (dari Lehman Brothers) dan Alan Schwartz (mantan CEO Bear Stearns) terang-terangan menuduh para short-seller dan penyebar rumor sebagai pihak yang bikin perusahaan mereka gulung tikar.

Tuduhan miring begini tentu saja dibantah oleh kalangan short-seller. Seorang manajer hedge fund bernama Jim Chanos bahkan bercerita bahwa sore sebelum Bear Stearns ambruk, Schwartz menghubunginya. Waktu itu, sebagai CEO Bear Stearns, Schwartz memintanya datang pagi-pagi ke CNBC dan ngomong di Squawk Box, program berita bisnis di televisi berbasis Internet itu, bahwa dia masih nasabah Bear Stearns, uangnya masih dia percayakan di situ dan semua baik-baik saja.

“Alan, bagaimana aku tahu kalau segalanya (di Bear Stearns) baik-baik saja?” jawab Chanos. “Apa memang semuanya baik-baik saja?”

“Jim, kami akan melaporkan rekor laba Senin pagi nanti.”

“Alan, kau sudah bikin aku jadi insider. Aku nggak tanya info ini, dan aku juga yakin ini juga nggak relevan. Dari yang kutahu, para investor sudah mengurangi margin balance dengan kalian, dan itu bikin dana kalian makin ketat.”

“Well, ya, sampai batas tertentu, tapi kami akan baik-baik saja.”

Momen yang diceritakan ini adalah Kamis sore, pukul 6.15, sebelum Bear Stearns kolaps. Dan ironisnya, hanya beberapa saat setelah Chanos melakukan pertemuan dengan Sam Molinaro, CFO Bear Stearns, yang mengaku terus terang: “Kami sudah habis. Kami bangkrut. Kami perlu dana malam ini dan nggak dapat…”

Jadi, masih tutur Chanos, yang dilakukan Schwartz waktu itu adalah “membujuk nasabah terbesar perusahaanya untuk ke CNBC esok paginya dan bilang segalanya baik-aik saja, padahal tidak.” Setelah diam sejenak, dia menegaskan, “Dan kami tahu betul mereka tidak baik-baik saja.”

Singkat cerita, Chanos tidak ke CNBC dan Bear Stearns jatuh bangkrut walau The Fed, Bank Sentral AS, telah berupaya menolong mereka. “Alan Schwartz kukuh mengatakan ‘short-seller yang membuat mereka jatuh’,” ujarnya sengit. “Padahal, siapa yang mereka minta bikin keterangan palsu pada pagi ketika mereka ambruk? Kami, short-seller terbesar dunia. Anda ingin bicara tentang etika dan siapa yang benar dalam masalah ini? It’s unbelievable.”

Dalam hal integritas, Chanos punya cukup reputasi. Dialah, antara lain, yang menguak skandal Enron. Kalau Paulson, dia cuek saja dengan segala macam kritik dan tuduhan miring, termasuk terhadap pilihan karier dan apa yang dilakukannya. Kelahiran 14 Desember 1955 ini memang lebih mengandalkan logika ketimbang emosi dalam menilai setiap keadaan. Simak saja bagaimana dia membukukan sukses pada puncak resesi tahun lalu.

Pada awal 2008, tuturnya, kebanyakan orang yakin bahwa perekonomian AS tak bakal terperosok ke dalam resesi — paling-paling cuma perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan pulih pada paruh kedua tahun itu. Lalu, ketika keadaan belum membaik, orang banyak juga masih optimistis, “Kita memang belum membaik, tapi paling juga masih terkena perlambatan (bukan resesi).”

Paulson heran melihat orang-orang masih begitu optimistis. “Sekarang, setelah terjadi resesi, mereka mengakui terjadinya resesi. Tapi, lagi-lagi, menganggap ‘paling dua atau tiga kuartal lalu pulih’. Jadi, mereka selalu underestimate tingkat keparahannya.”

Pandangan Paulson terhadap kondisi ekonomi AS jauh lebih gelap ketimbang kebanyakan pelaku bisnis. Dia yakin, resesi akan bertahan sampai 2010 dan pengangguran bakal menembus 9% — meningkat cukup tinggi dari 7% saat ini. “Kita masih akan terperosok jauh lebih dalam sebelum mencapai dasar,” ujarnya.

Sekarang, terbukti dengan pemanggilannya oleh Committee on Oversight and Government Reform, suara Paulson mulai didengar. Penyebabnya bukan hanya karena dia berhasil membukukan laba besar ketika rapor hedge fund lain kebakaran. Lebih dari itu, karena cara Paulson meraup laba tersebut, yaitu dengan mengambil posisi berlawanan terhadap sekuritas subprime ketika semua pemain justru berebut memborong. Dia bertaruh bahwa, selain Lehman Brothers, bank-bank lain seperti Washington Mutual dan Wachovia juga akan tumbang.

Jauh sebelum krisis pecah, misalnya, Paulson menanam US$ 22 juta dalam sekuritas credit default swap yang kemudian terbukti mendatangkan pendapatan US$ 1 miliar ketika Pemerintah Federal memilih untuk tak menolong Lehman Brothers. Artinya, setiap dolar yang ditanam membuahkan US$ 45,45.

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Kemampuan analisis Paulson yang baik dalam membaca keadaan ekonomi
  • Strategi yang jitu dari Paulson dalam mengambil keputusan – keputusan

 

important knowledge in company

 

  • Kemampuan analisa yang baik
  • Keputusan yang bijak
  • Berani mengambil resiko
  • Membaca peluang

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Kelihaian Paulson dalam menganalisa keadaan, adalah kehebatan yang dimiliki oleh perusahaan

 

Knowledge Goal

 

  • Share tentang kemampuan dalam menganalisa peluang
  • Share tentang pengetahuan yang dimiliki

 

Posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ) | Leave a comment

SaaS, Makin Seksi dan Populer

SaaS, Makin Seksi dan Populer
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Joko Sugiarsono

Software-as-a-Service (SaaS) atau on demand software belakangan tak lagi hanya populer di kalangan perusahaan start-up ataupun kelas gurem, tapi juga di kalangan korporasi besar berskala global. Apa di balik tren ini?

“The End of Software.” Frasa provokatif ini justru dipakai oleh sebuah perusahaan software untuk mempromosikan diri. Namun, seperti halnya provokasi yang diteriakkannya, perusahaan ini memang dikenal sebagai “pemberontak” di industri software. Namanya Salesforce.com, didirikan pada 1999 dan bermarkas di San Francisco. Maka, Anda tak perlu membangun data centre! Anda juga tak harus punya seorang CIO!” Maklum, kala itu konsep SaaS masih baru. Pada awal 2006 perusahaan ini mulai menggunakan jasa Salesforce.com, yang masa instalasinya hanya lima hari. Firma ini menjalankan semua operasional usahanya dengan layanan Salesforce.com. “Kami menggunakannya bukan cuma sebagai alat penjualan,” kata Peter Andrews, pendiri dan CEO perusahaan ini. Pada akhir 2006, aset dalam kelolaannya melonjak dari US$ 3,8 juta menjadi US$ 8,7 juta. “Sebagian besar pertumbuhan itu bantuan dari Salesforce.com,” ucapnya memberi testimoni. Menurut Beach, di masa lalu, software bisnis identik dengan aplikasi yang kompleks, mahal dan sulit diinstal. “Sedangkan sekarang, gelombangnya adalah mencari yang biayanya lebih murah dan mudah digunakan,” ia berujar.Sukses Salesforce.com mengundang munculnya sejumlah vendor SaaS lain: RightNow Technologies (terdaftar di Nasdaq), NetSuite, SuccessFactors dan Concur Technologies. Yang mungkin belum diketahui banyak orang, Procter & Gamble dan General Electric rupanya juga kesengsem dengan model SaaS. Dua raksasa bisnis dunia ini merupakan pelanggan serius Google Apps, aplikasi Online Office Productivity Suite dari maharaja Internet, Google Inc. Untuk bisa menikmati aplikasi ini hanya dibutuhkan waktu persiapan 45 hari. “Buat kebanyakan pelanggan, produk ini memang sudah yang terbaik,” katanya. Contoh kekurangan yang dirasakannya, NetSuite hanya menawarkan laporan yang membandingkan data finansial aktual dengan data finansial anggaran, tapi tidak menyediakan perbandingan antara data finansial tahun yang berjalan dengan data finansial realisasi tahun sebelumnya. Nobel kemudian mengakalinya dengan memanfaatkan spreadsheet Excel. Ini diakui oleh Peter Andrews, pendiri dan CEO Dreambuilder Investments LLC, perusahaan mortgage investment yang bermarkas di New York. Salah satu gawean baru Dreambuilder adalah meresolusi aset mortgage (surat-surat berharga terkait hipotek) yang bermasalah – disebut non-performing mortgage – yang dibelinya dari bencana subprime mortgage yang baru terjadi. “Bisnis ini lagi booming,” kata Andrews mengakui. Menurutnya, tahun ini nilai bisnisnya baru US$ 8 juta, tapi tahun depan diperkirakan US$ 50 juta, dan dalam tiga tahun bisa menjadi US$ 200 juta. Karena itu, ia malah merasa beruntung tak memiliki sistem in-house dan staf TI sendiri. Riset: Siti Sumariyati

Dengan slogan provokatif dan upaya pemasaran yang cerdik (dan mestinya didukung layanan yang memuaskan), bisnis Salesforce.com terus melejit. Pertumbuhan penjualannya setiap tahun rata-rata lebih dari 75%. Perusahaan ini go public di New York Stock Exchange pada 2004. Sejak itu, sahamnya mampu memberikan gain 200% lebih.

Tentu, provokasi Salesforce.com tak akan didengar orang bila di belakang “si anak bawang” industri software ini tak ada nama hebat dan tak ada tawaran luar biasa. Ya, salah seorang co-founder perusahaan dotcom ini adalah Marc Benioff, mantan sales guru di Oracle Corporation, yang hingga kini menjabat CEO Salesforce.com. Adapun tawaran istimewanya (terutama di masa itu) adalah layanan fungsionalitas software dengan pola yang kini dikenal sebagai Software-as-a-Service (SaaS) atau juga disebut on demand software. Istilah ini dipakai untuk membedakan dari software yang dijual secara tradisional dalam bentuk paket (istilahnya package software) atau juga dikenal sebagai on premise software.

Simaklah promosi Benioff pada 2003 mengenai layanan Salesforce.com! “Apa yang terjadi bila kami menciptakan sebuah utilitas untuk otomasi perusahaan?

Benioff meyakini, layanan Salesforce.com akan lebih menarik bila proses penyediaan software sales force automation (SFA)-nya bisa lebih mudah, yakni dalam wujud online service. Dengan SaaS, pengguna tak perlu menginstal disket aplikasi di komputer mereka. Pasalnya, vendor akan meng-hosting aplikasinya buat pengguna. Artinya, pengguna tak perlu memiliki server sendiri yang harganya mahal. Pengguna tinggal mengakses software itu dengan menggunakan Web browser.

Salesforce.com (terdaftar di New York Stock Exchange) boleh dibilang pionir yang mengupayakan software bisnis bisa mudah diperoleh dan dimanfaatkan. Menurut Bruce Francis, VP Strategi Korporat Salesforce.com, inspirasinya datang dari consumer website ternama, Amazon.com dan eBay. “Membuat aplikasi bisnis lebih seperti aplikasi konsumer adalah tujuan kami,” katanya. “Software (bisnis) itu seharusnya simpel, intuitif dan efektif.”

Francis menjelaskan, SaaS sebenarnya bisa melayani, mulai dari perusahaan start-up kelas teri hingga perusahaan berskala global. “Yang pasti mereka bisa men-set up dan menggunakan software seperti itu lebih segera,” katanya. Karena keunggulan dari segi kecepatan dan biaya investasi yang lebih rendah, ia menyebutkan, tingkat kepuasan pelanggannya tinggi. Ia juga mengklaim tingkat atrisi (larinya) klien Salesforce.com kurang dari 1%.

Salah satu klien yang mengaku terpuaskan oleh Salesforce.com adalah Dreambuilder Investments LLC, perusahaan investasi mortgage yang berbasis di New York.

“Contoh semacam itu menunjukkan bagaimana model SaaS bisa menantang standar industri yang sudah berjalan,” kata Murray Beach, Presiden Boston Corporate Finance, investment bank yang fokus pada proses merger dan jual-beli industri TI kelas menengah.

Pada mulanya, para rival SaaS – yakni kalangan vendor software tradisional – berupaya meremehkan model penggunaan software seperti ini dengan menyebutnya terlalu berisiko dan tidak mantap (too risky and unreliable). Para kritikus pun bilang pelanggan tak mungkin memercayakan data mereka yang sensitif keluar dari perusahaan. Ada lagi yang meragukan SaaS tak mungkin bisa melayani kebutuhan perusahaan global yang terus berkembang.

Boleh jadi, semua keraguan itu lebih didasarkan sinisme belaka. Buktinya, boleh dibilang sejak 2007 (atau 8 tahun setelah berdirinya Salesforce.com), perusahaan yang dibangun Benioff ini mampu memasuki jalur utama, dengan menggaet sejumlah perusahaan kakap berskala global, antara lain: Staples, Cisco, Symantec, SprintNextel, Nokia, Polycom, dan Yamaha.

Yang sukses menggaet klien kakap juga bukan cuma Salesforce.com. Kisah sukses lainnya adalah Concur Technologies. Avaya, Citigroup, Daimler-Chrysler, Dell, Ford dan Pfizer bersedia menggunakan software bisnis Corporate Expense Management yang disediakan Concur secara online.

 

Jeffrey Kaplan, Direktur Pengelola ThinkStrategies, konsultan yang berbasis di Amerika Serikat, melihat naiknya tingkat adopsi SaaS di kalangan perusahaan besar karena ada bukti kualitas dan reliabilitas layanan para vendor SaaS. Faktor lain, meningkatnya kemampuan integrasi dan kustomasi SaaS belakangan ini. Alex Barnett, praktisi TI dari Bungee Labs menyebutkan, naiknya popularitas platform SaaS karena didukung oleh tren yang terjadi di dunia TI belakangan ini (lihat Tabel: Delapan Tren Platform SaaS – Red.).

Delapan Tren Platform Software-as-a-Service (SaaS)

1.SaaS hanyalah bagian dari megatren Web.
2.Opini arus besar bilang “yes” terhadap SaaS.
3.Vendor software ramai-ramai menyediakan SaaS.
4.Semua sistem kini divirtualisasi.
5.Ada ledakan Web API (application programming interface).
6.Faktor ekonomi (khususnya resesi) menyuburkan SaaS.
7.Kalangan enterprise dan UKM makin menyukai SaaS.
8.Platform SaaS berkembang luas.

Sumber: Blog milik Alex Barnett (http://alexbarnett.net).

Menurut perkiraan IDC, belanja SaaS bakal membengkak dalam beberapa tahun mendatang, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 21%, untuk mencapai angka total US$ 10,7 miliar pada 2009. Dalam konteks yang berbeda, Gartner menyebutkan bila pada 2005 belanja software bisnis dengan model SaaS hanya 5%, pada 2011 diperkirakan tumbuh menjadi 25%.

Keberhasilan SaaS bukan cuma mengundang pemain baru, tapi juga membuat vendor software besar seperti SAP dan Microsoft mengubah strateginya dengan juga menyediakan layanan on demand software. Belakangan, Google pun tergoda meluncurkan layanan SaaS yang diberi nama Google Apps.

Kendati begitu, Kaplan memberi catatan bahwa para vendor tradisional itu bakal menghadapi tantangan yang berat untuk bisa menyediakan layanan SaaS. “Sebab, mereka harus mendesain ulang aplikasi mereka agar Web-oriented, bisa lebih user-friendly, dan mudah disediakan dengan basis user-by-user,” katanya. Benarkah begitu?

John Goldrick, Manajer Pengembangan Bisnis produk On-Demand CRM pada SAP Asia Pasifik, mengaku pihaknya tak mengalami kesulitan seperti itu. Menurutnya, produk on demand software ini didesain dengan model data konsisten dan arsitektur yang berbasis platform Netweaver milik SAP. “Ini membuat aplikasi On-Demand CRM bisa mengintegrasikan datanya dengan sistem back office SAP,” katanya mengklaim.

Pendekatan Microsoft lain lagi. Raksasa software yang bermarkas di Redmond ini menggaet beberapa mitra untuk meng-hosting aplikasi On-Demand CRM ketimbang melakukannya sendiri.

Tantangan lain yang disebutkan Kaplan, para vendor software tradisional itu mesti merestrukturisasi model revenue-nya guna mengakomodasi sistem pricing SaaS yang menggunakan pola berlangganan. Padahal, seperti diketahui, vendor tradisional seperti SAP, Oracle dan Microsoft itu memperoleh sebagian besar revenue-nya dari melisensikan software paketnya. Menanggapi soal ini, seorang eksekutif Microsoft Business Solution Asia Pasifik menyebutkan bahwa penyediaan hosted On-Demand CRM itu lebih sebagai “and strategy” bukan “or strategy”. “Mitra-mitra kami bisa mengembangkan peluang bisnis mereka dengan menyediakan baik layanan on premise maupun on demand,” kata sang eksekutif.

Soal ini, Kaplan sendiri menyarankan agar vendor software tradisional yang menyediakan layanan SaaS untuk memaketkan layanan on demand-nya sedemikian rupa, sehingga tidak menganibalisasi produk software yang sudah ada atau mengganggu stabilitas finansialnya.

BOKS:

Mereka Bergoyang Riang
dengan SaaS

SaaS diyakini dapat mengatasi keruwetan sistem karena fleksibilitas serta kemudahan dan kemurahan investasinya. Ini dialami Nobel Learning Communities Inc. Perusahaan yang bermarkas di West Chester, Pennsylvania, Amerika Serikat ini mengelola 160 sekolah (terdiri dari sekolah play group, TK, SD, dan sekolah tingkat menengah) di 13 negara bagian. “Perusahaan kami saat itu manajemennya masih kacau. Salah satu kekurangannya pada sisi infrastruktur TI-nya,” kata Tom Frank, Chief Financial Officer NobelFrank tidak berlebihan. Sebab, perusahaan ini memiliki 150 server database dan tiap sekolah punya sistem sendiri, termasuk laporan keuangannya. “Kami jadi susah memahami apa yang sebenarnya kami jual,” ujar eksekutif yang bergabung dengan Nobel pada 2004 ini.

Menurut Frank, yang harus dilakukan pihaknya adalah membuat informasi cukup seragam, sehingga bisa dikontrol. “Kami kemudian melirik SaaS sebagai jalur cepat, tanpa harus mengembangkan software sendiri atau membeli sebuah produk lalu memodifikasinya,” ungkapnya. “Sebab kalau kami membangun atau membeli sistem, kami juga mesti membangun atau menyewa data centre,” katanya memberi alasan. Dengan pilihan ini, Nobel mengontrak NetSuite Inc. untuk menyediakan aplikasi finansial dan CRM yang diakses lewat layanan berbasis Web.

Frank mengaku cukup terkesan dengan hasilnya. Namun, ia tak menutup mata terhadap kekurangan solusi SaaS dari NetSuite itu.

Dalam penilaian Scott Witmayer, Vice President TI Nobel, solusi SaaS juga kerap mengorbankan unsur fleksibilitas. Pasalnya, vendor SaaS biasanya hanya menawarkan satu versi aplikasi. Menurutnya, para pengguna SaaS harus siap hidup dengan aturan 90/10. Maksudnya, “Anda akan memperoleh 90% fungsionalitas yang Anda butuhkan, tapi 10% sisanya, Anda perlu mencari cara lain,” Witmayer menjelaskan.

Toh, di mata Frank, SaaS tetap punya makna penting. “Sebab, Anda tentu ingin mengalokasikan sumber daya TI yang terbatas itu untuk mengembangkan bisnis, bukan infrastruktur TI,” katanya.

Dalam penerapan SaaS tak jarang terjadi bentrokan kepentingan. Maklumlah, meski sudah diperkenalkan di tahun 1999, masih banyak pihak yang awam dengan teknologi SaaS. Contohnya terjadi di Informa Plc., perusahaan penyedia jasa informasi, database, konferensi, dan pelatihan ilmiah ataupun profesional yang berbasis di London. Informa memiliki sejumlah lini produk. Organisasinya menganut pola desentralisasi. Kantornya tersebar di 40 negara, dan perusahaan ini punya beberapa chief information officer (CIO) regional.

Informa memiliki sistem SAP tersentralisasi yang menyediakan fungsi back office seperti akunting. Namun, front office di tiap kantor cabang – tempat berjalannya fungsi penjualan dan pemasaran – “dibebaskan” untuk mencari solusi sendiri-sendiri. Tak jarang sistem yang beragam itu muncul akibat dari sejumlah langkah akuisisi. Pada 2006, karena sistem front office yang campur aduk itu membuat kebingungan dalam penanganan order.

Manajemen Informa kemudian menstandardisasi dengan memanfaatkan aplikasi sales force automation (SFA) dari vendor SaaS beken, Salesforce.com. Banyak sistem penjualan lama yang dienyahkan. “Fungsi-fungsinya kini lebih terintegrasi, lebih aman, dan lebih stabil,” kata CIO Jonathan Earp, yang berkantor di Westboro, Massachussets, Amerika Serikat. Ia juga menyebutkan Informa sanggup menyesuaikan fungsi Salesforce.com dengan lima lini bisnisnya. “Poin yang lebih penting, sistem ini lebih mudah dikelola,” ia menambahkan.

Sayangnya, Earp menceritakan, sang chief marketing officer (CMO) Informa malah memilih untuk “menjahit” sistem pemasaran sendiri (custom development) – yang dibawa dari sebuah proses akuisisi – dengan alasan ada fungsi-fungsi pemasaran yang tak terpenuhi. “Saya sudah jelaskan, ini tidak akan bisa dipakai dalam skala luas, karena akan susah diakses secara remote dari kantor-kantor penjualan. Sebagai CIO, Earp mengaku punya mentalitas “beli sebelum bangun sendiri”. Jalan tengah pun diambil. Sistem Salesforce.com tetap dipakai, sedangkan CMO bekerja dengan sistem custom-nya.

Dua tahun berselang, sistem custom itu pun masih dalam pengembangan. Dan jika dua tahun lalu ada fungsi pemasaran yang dibutuhkan Informa belum bisa terpenuhi oleh Salesforce.com, kini sudah terakomodasi. Artinya, sistem custom khusus pemasaran yang digarap sendiri itu justru kelewahan (redundant). Bagi Earp, SaaS menawarkan keunggulan, baik dibanding sistem custom development maupun implementasi software paket komersial semisal CRM dari SAP ataupun Microsoft. “Sebab, tool pada SaaS mudah di-roll out ke para pengguna dalam waktu yang singkat,” katanya. Di sisi lain, baik mengembangkan sendiri maupun mengimplementasi paket software membutuhkan waktu yang lama untuk mendefinisikan kebutuhan – di mana miskomunikasi kerap terjadi. “Kami, orang-orang TI memang sering mewacanakan model pengembangan cerdas (agile development). Tapi hal itu sulit dilakukan,” kata Earp. “Dengan SaaS, Anda bisa memperlihatkan pada para user sesuatu yang bisa cepat ditanggapi,” ia menambahkan.

Kepraktisan – dalam banyak hal berupa kecepatan – memang salah satu keunggulan yang dirasakan para pengguna solusi SaaS.

Namun menurutnya, perusahaannya bakal kewalahan mengikuti pertumbuhan bisnisnya apabila ia mengandalkan sistem in-house tradisional.

Nah, untuk mengelola bisnisnya, Andrews memanfaatkan sistem Partner Relationship Management (PRM) dari Salesforce.com. Aplikasi SaaS ini dipakai untuk mengelola dan memantau deal investasi yang mengalir di jaringan nasional para mitra Dreambuilder. “Kami menggunakan PRM untuk menjalankan setiap aspek bisnis kami,” ujarnya.

Menurut Andrews, meskipun para user tidak bisa memodifikasi software di belakang SaaS, seorang pengguna nonteknis pun dapat “mengustomasi” aplikasi tersebut. “Pengguna tinggal membuat tabel-tabel yang bisa menjadi bagian database aplikasi,” ia menjelaskan. “Saya, misalnya, punya custom object untuk investor privat saya, lainnya untuk memantau deal-deal saya, ada pula yang dipakai untuk memantau pembeli surat-surat berharga saya, dan sebagainya,” tuturnya mencontohkan.

Perusahaan yang hanya diperkuat 8 orang ini juga menggunakan solusi SaaS lainnya yang bernama MozyPro dari EMC Corp. untuk kebutuhan back up data.

Dengan bisnisnya yang makin besar, akankah Andrews di masa mendatang memiliki sendiri sistem in-house berikut para stafnya? “Tidak!” ia berseru tegas. Alasannya? “Saya membelanjakan sekitar US$ 2 ribu per user per tahun. Jadi, belanja kami setahun diperkirakan US$ 60 ribu. Nilai ini hanya setetes dibanding kalau kami mengeluarkan uang untuk membangun infrastruktur TI,” ia menjawab lugas.

 

Pembahasan SaaS, Makin Seksi dan Populer

 

Latar Belakang

 

“The End of Software.” Frasa provokatif ini justru dipakai oleh sebuah perusahaan software untuk mempromosikan diri. Namun, seperti halnya provokasi yang diteriakkannya, perusahaan ini memang dikenal sebagai “pemberontak” di industri software. Namanya Salesforce.com, didirikan pada 1999 dan bermarkas di San Francisco.Maka, Anda tak perlu membangun data centre! Anda juga tak harus punya seorang CIO!” Maklum, kala itu konsep SaaS masih baru.

Dengan slogan provokatif dan upaya pemasaran yang cerdik (dan mestinya didukung layanan yang memuaskan), bisnis Salesforce.com terus melejit. Pertumbuhan penjualannya setiap tahun rata-rata lebih dari 75%. Perusahaan ini go public di New York Stock Exchange pada 2004. Sejak itu, sahamnya mampu memberikan gain 200% lebih.

Tentu, provokasi Salesforce.com tak akan didengar orang bila di belakang “si anak bawang” industri software ini tak ada nama hebat dan tak ada tawaran luar biasa. Ya, salah seorang co-founder perusahaan dotcom ini adalah Marc Benioff, mantan sales guru di Oracle Corporation, yang hingga kini menjabat CEO Salesforce.com. Adapun tawaran istimewanya (terutama di masa itu) adalah layanan fungsionalitas software dengan pola yang kini dikenal sebagai Software-as-a-Service (SaaS) atau juga disebut on demand software. Istilah ini dipakai untuk membedakan dari software yang dijual secara tradisional dalam bentuk paket (istilahnya package software) atau juga dikenal sebagai on premise software.

Simaklah promosi Benioff pada 2003 mengenai layanan Salesforce.com! “Apa yang terjadi bila kami menciptakan sebuah utilitas untuk otomasi perusahaan?

Whole Problem Case

 

Benioff meyakini, layanan Salesforce.com akan lebih menarik bila proses penyediaan software sales force automation (SFA)-nya bisa lebih mudah, yakni dalam wujud online service. Dengan SaaS, pengguna tak perlu menginstal disket aplikasi di komputer mereka. Pasalnya, vendor akan meng-hosting aplikasinya buat pengguna. Artinya, pengguna tak perlu memiliki server sendiri yang harganya mahal. Pengguna tinggal mengakses software itu dengan menggunakan Web browser.Pada awal 2006 perusahaan ini mulai menggunakan jasa Salesforce.com, yang masa instalasinya hanya lima hari. Firma ini menjalankan semua operasional usahanya dengan layanan Salesforce.com. “Kami menggunakannya bukan cuma sebagai alat penjualan,” kata Peter Andrews, pendiri dan CEO perusahaan ini. Pada akhir 2006, aset dalam kelolaannya melonjak dari US$ 3,8 juta menjadi US$ 8,7 juta. “Sebagian besar pertumbuhan itu bantuan dari Salesforce.com,” ucapnya memberi testimoni.Menurut Beach, di masa lalu, software bisnis identik dengan aplikasi yang kompleks, mahal dan sulit diinstal. “Sedangkan sekarang, gelombangnya adalah mencari yang biayanya lebih murah dan mudah digunakan,” ia berujar.Sukses Salesforce.com mengundang munculnya sejumlah vendor SaaS lain: RightNow Technologies (terdaftar di Nasdaq), NetSuite, SuccessFactors dan Concur Technologies.Yang mungkin belum diketahui banyak orang, Procter & Gamble dan General Electric rupanya juga kesengsem dengan model SaaS. Dua raksasa bisnis dunia ini merupakan pelanggan serius Google Apps, aplikasi Online Office Productivity Suite dari maharaja Internet, Google Inc.

Salesforce.com (terdaftar di New York Stock Exchange) boleh dibilang pionir yang mengupayakan software bisnis bisa mudah diperoleh dan dimanfaatkan. Menurut Bruce Francis, VP Strategi Korporat Salesforce.com, inspirasinya datang dari consumer website ternama, Amazon.com dan eBay. “Membuat aplikasi bisnis lebih seperti aplikasi konsumer adalah tujuan kami,” katanya. “Software (bisnis) itu seharusnya simpel, intuitif dan efektif.”

Francis menjelaskan, SaaS sebenarnya bisa melayani, mulai dari perusahaan start-up kelas teri hingga perusahaan berskala global. “Yang pasti mereka bisa men-set up dan menggunakan software seperti itu lebih segera,” katanya. Karena keunggulan dari segi kecepatan dan biaya investasi yang lebih rendah, ia menyebutkan, tingkat kepuasan pelanggannya tinggi. Ia juga mengklaim tingkat atrisi (larinya) klien Salesforce.com kurang dari 1%.

Salah satu klien yang mengaku terpuaskan oleh Salesforce.com adalah Dreambuilder Investments LLC, perusahaan investasi mortgage yang berbasis di New York.

“Contoh semacam itu menunjukkan bagaimana model SaaS bisa menantang standar industri yang sudah berjalan,” kata Murray Beach, Presiden Boston Corporate Finance, investment bank yang fokus pada proses merger dan jual-beli industri TI kelas menengah.

Pada mulanya, para rival SaaS – yakni kalangan vendor software tradisional – berupaya meremehkan model penggunaan software seperti ini dengan menyebutnya terlalu berisiko dan tidak mantap (too risky and unreliable). Para kritikus pun bilang pelanggan tak mungkin memercayakan data mereka yang sensitif keluar dari perusahaan. Ada lagi yang meragukan SaaS tak mungkin bisa melayani kebutuhan perusahaan global yang terus berkembang.

Boleh jadi, semua keraguan itu lebih didasarkan sinisme belaka. Buktinya, boleh dibilang sejak 2007 (atau 8 tahun setelah berdirinya Salesforce.com), perusahaan yang dibangun Benioff ini mampu memasuki jalur utama, dengan menggaet sejumlah perusahaan kakap berskala global, antara lain: Staples, Cisco, Symantec, SprintNextel, Nokia, Polycom, dan Yamaha.

Yang sukses menggaet klien kakap juga bukan cuma Salesforce.com. Kisah sukses lainnya adalah Concur Technologies. Avaya, Citigroup, Daimler-Chrysler, Dell, Ford dan Pfizer bersedia menggunakan software bisnis Corporate Expense Management yang disediakan Concur secara online.

 

Jeffrey Kaplan, Direktur Pengelola ThinkStrategies, konsultan yang berbasis di Amerika Serikat, melihat naiknya tingkat adopsi SaaS di kalangan perusahaan besar karena ada bukti kualitas dan reliabilitas layanan para vendor SaaS. Faktor lain, meningkatnya kemampuan integrasi dan kustomasi SaaS belakangan ini. Alex Barnett, praktisi TI dari Bungee Labs menyebutkan, naiknya popularitas platform SaaS karena didukung oleh tren yang terjadi di dunia TI belakangan ini (lihat Tabel: Delapan Tren Platform SaaS – Red.).

Delapan Tren Platform Software-as-a-Service (SaaS)

1.SaaS hanyalah bagian dari megatren Web.
2.Opini arus besar bilang “yes” terhadap SaaS.
3.Vendor software ramai-ramai menyediakan SaaS.
4.Semua sistem kini divirtualisasi.
5.Ada ledakan Web API (application programming interface).
6.Faktor ekonomi (khususnya resesi) menyuburkan SaaS.
7.Kalangan enterprise dan UKM makin menyukai SaaS.
8.Platform SaaS berkembang luas.

Sumber: Blog milik Alex Barnett (http://alexbarnett.net).

Menurut perkiraan IDC, belanja SaaS bakal membengkak dalam beberapa tahun mendatang, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 21%, untuk mencapai angka total US$ 10,7 miliar pada 2009. Dalam konteks yang berbeda, Gartner menyebutkan bila pada 2005 belanja software bisnis dengan model SaaS hanya 5%, pada 2011 diperkirakan tumbuh menjadi 25%.

Keberhasilan SaaS bukan cuma mengundang pemain baru, tapi juga membuat vendor software besar seperti SAP dan Microsoft mengubah strateginya dengan juga menyediakan layanan on demand software. Belakangan, Google pun tergoda meluncurkan layanan SaaS yang diberi nama Google Apps.

Kendati begitu, Kaplan memberi catatan bahwa para vendor tradisional itu bakal menghadapi tantangan yang berat untuk bisa menyediakan layanan SaaS. “Sebab, mereka harus mendesain ulang aplikasi mereka agar Web-oriented, bisa lebih user-friendly, dan mudah disediakan dengan basis user-by-user,” katanya. Benarkah begitu?

John Goldrick, Manajer Pengembangan Bisnis produk On-Demand CRM pada SAP Asia Pasifik, mengaku pihaknya tak mengalami kesulitan seperti itu. Menurutnya, produk on demand software ini didesain dengan model data konsisten dan arsitektur yang berbasis platform Netweaver milik SAP. “Ini membuat aplikasi On-Demand CRM bisa mengintegrasikan datanya dengan sistem back office SAP,” katanya mengklaim.

Pendekatan Microsoft lain lagi. Raksasa software yang bermarkas di Redmond ini menggaet beberapa mitra untuk meng-hosting aplikasi On-Demand CRM ketimbang melakukannya sendiri.

Tantangan lain yang disebutkan Kaplan, para vendor software tradisional itu mesti merestrukturisasi model revenue-nya guna mengakomodasi sistem pricing SaaS yang menggunakan pola berlangganan. Padahal, seperti diketahui, vendor tradisional seperti SAP, Oracle dan Microsoft itu memperoleh sebagian besar revenue-nya dari melisensikan software paketnya. Menanggapi soal ini, seorang eksekutif Microsoft Business Solution Asia Pasifik menyebutkan bahwa penyediaan hosted On-Demand CRM itu lebih sebagai “and strategy” bukan “or strategy”. “Mitra-mitra kami bisa mengembangkan peluang bisnis mereka dengan menyediakan baik layanan on premise maupun on demand,” kata sang eksekutif.

Soal ini, Kaplan sendiri menyarankan agar vendor software tradisional yang menyediakan layanan SaaS untuk memaketkan layanan on demand-nya sedemikian rupa, sehingga tidak menganibalisasi produk software yang sudah ada atau mengganggu stabilitas finansialnya.

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dengan slogan dan upaya pemasaran yang cerdik, salesforce.com mampu menarik para pengguna software
  • Hubungan yang baik dengan mitra – mitra salesforce.com

 

important knowledge in company

 

  • Inovatif
  • Mengutamakan pelanggan
  • Berani bersaing

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • CRM yang baik yang dimiliki salesforce.com

 

Knowledge Goal

 

  • Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan meningkatkan CRM
  • Meningkatkan kualitas produk

 

Posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ) | Leave a comment

Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru

Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Yuyun Manopol

Djoni Prananto, pebasket nasional di era 1960-1970-an, merintis kerajaan bisnis keluarganya dengan mendirikan usaha angkutan truk di bawah bimbingan pamannya, Liem Sioe Liong. Kini, di bawah komando putra sulungnya, Beni Prananto, keluarga ini beralih ke lahan bisnis yang lebih menantang dan wah, yakni migas.

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Banyak pihak yang terperangah. Apalagi rangkaian akuisisi itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengambil alih Sabre Systems International Pte. Ltd. (berbasis di Singapura) dan PT Pulau Kencana Raya (lokal), MiRa mengucurkan dana Rp 400 miliar. Yang lebih mengejutkan, ketika perusahaan yang pada 2006 tercatat beraset Rp 86 miliar ini mampu mengeluarkan dana hingga Rp 5,15 triliun (80,57% kepemilikan saham) untuk akuisisi Apexindo (80,57% saham). Tapi, tutup-buka, kecil-kecil saja,” ujar Beni Prananto mengenai sang kakek. Adapun nenek Beni memiliki bisnis transportasi dengan lebih dari 100 unit becak di Kota Rokok ini. Bersama Om Liem, Djoni juga memulai babak baru hidupnya sebagai pebisnis. Awalnya Djoni ikut berdagang kopi mentah (sebagai wholesaler) asal Lampung yang dipasok untuk pabrik-pabrik di Jawa. ”Kalau gak salah sampai ekspor,” ujar Beni yang menyandang gelar Bachelor of Commerce dari Concordia University, Kanada. Selain itu, Djoni juga pernah menjadi importir sepeda motor Lambreta dari Italia. ”Setiap bulan beliau berhasil menjual 500 unit sepeda motor. Di zaman itu angka penjualan tersebut termasuk besar,” tambah pria kelahiran Kudus 3 Januari 1959 ini. Fokusnya sebagai oil business support. Pelanggannya adalah Conoco, Huffco, Total Indonesia, Arco, dan Union Oil. Bahkan, 80% kapal milik TMS melayani keperluan Pertamina yang berpangkalan di Plaju. “Pertama kali kami memiliki 6 kapal, yakni jenis tongkang dan tunda. Ini jenis kapal yang paling murah dan bisa ditinggal,” kata Beni sambil menyebutkan saat itu harga per unitnya sekitar Rp 600 juta, sedangkan sekarang Rp 10 miliar. Pada 1998 – persis sebelum efek krismon mendera – total armada laut TMS mencapai 36 unit (masih terdiri dari kapal tongkang dan tunda). Di sisi lain, waktu itu bisnis ini hanya dikuasai segelintir pemain besar. Ketika akan direalisasi, lagi-lagi Beni yang ditunjuk oleh kongsi ini. Alasannya, hanya Djoni yang memiliki anak yang sudah cukup besar dan dinilai mampu. ”Waktu saya ditawari, saya minta waktu 6 bulan untuk mempelajari pasar, teknik dan know-how-nya,” ujarnya. Toh akhirnya perusahaan itu pun berdiri pada 1990, dengan nama PT Fatrapolindo yang berlokasi di Curug Tangerang. Sejak itu, perusahaan yang listing pada 1997 ini pun membuka diri untuk bermitra bisnis dengan perusahaan lain. Upaya masuk ke pasar modal tak hanya dilakukan Beni terhadap MiRa, tapi juga Fatrapolindo. Tahun 2004 ia berhasil mengantar Fatrapolindo go public. Tak lama setelahnya, datang investor baru dari Malaysia, Titan Chemical, yang kemudian menguasai hingga 95% kepemilikan saham. Kehadiran Titan membuat kepemilikan saham keluarga Prananto di perusahaan ini terdilusi hingga tinggal 3% (dari semula 25%). “Sekarang kami hanya memiliki tiga unit. Dua kapal tunda (disewakan) dan satu kapal tanker.” Alasannya, perusahaannya tak sanggup bersaing dengan perusahaan asing. ”Bisnis kapal itu luar biasa kompleks.” Namun, tak disangka-sangka pada 2007 ia mendapat kesempatan mengakuisisi perusahaan di sektor ini. Prosesnya terbilang cepat. Sejak bertemu Tito Sulistio (pemilik Sabre Systems International dan Pulau Kencana Raya) di pesawat hingga akhirnya deal hanya butuh dua minggu. Meski sebagian pihak menilai transaksi ini terkesan kontroversial, akuisisi itu berjalan lancar. ”Seluruh dunia bersatu mendukung akuisisi itu,” ujarnya mengklaim.Adapun pemegang yang lain di MiRa adalah Blue Coral Capital Ltd. 19,18%, Heronswood Assets Management Ltd. 5,24%, dan sisanya publik. Yang pasti sejak mengakuisisi perusahaan migas, MiRa tak bisa dikategorikan lagi sebagai perusahaan trucking karena lebih dari 80% kontribusi pendapatan berasal dari migas. Tak heran nama Mitra Rajasa saat ini secara resmi telah berubah menjadi PT Mitra International Resources.Lalu apa rencana perusahaan ini ke depan? ”Ekspansi kemungkinan masih akan ada. Dalam kondisi krisis seperti saat ini kami harus memanfaatkan: ini saatnya menanam karena (harga aset) termurah,” tuturnya. Bidang ekspansinya? ”Kami akan fokus di energi. Masih dalam konteks energi contohnya pertambangan batu bara, ladang minyak, penyulingan, gas. Pokoknya masih banyak,” kata Beni bersemangat. Hal ini diamini Tito. ”Kami ingin menjadi perusahaan lokal yang resource-based. Kami punya services seperti rig, drilling, trucking, oil field, transportasi LNG, dan di tengahnya kami punya energi dan resource-based,” ujar mantan orang kepercayaan Titiek Hediati ini. Ia sendiri tak berpikir mengincar pasar di luar Indonesia. “Indonesia saja pasarnya masih gede dan kebutuhannya masih banyak di sini,” Preskom MiRa ini menambahkan. Dalam mengelola aset keluarga Prananto, Beni tetap ditugasi menggawangi MiRa. Di sini ia dibantu adiknya Roni Prananto yang berposisi sebagai komisaris. Adapun, adiknya, Lusi Prananto, diberi tanggung jawab mengurus restoran Tony Roma’s dan California Pizza Kitchen. Adik lelaki Beni lainnya, Toni Prananto, menjadi Dirut PT Sumber Kencana, distributor Indocement. Adik perempuannya yang lain, Lilia Prananto, memiliki bisnis sendiri, yakni mengelola restoran waralaba asal Amerika Serikat, Po 2000. Dan, si bungsu, Livia Prananto (22 tahun), baru saja menyelesaikan kuliah, dan tampaknya siap diterjunkan untuk membesarkan pundi-pundi kekayaan keluarga ini.

Rupanya agresivitas MiRa tak berhenti di situ. Februari 2009, melalui anak perusahaannya, Sabre Offshore Marine Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura melakukan pembelian fasilitas floating production storage and offloading (FPSO). Total nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 25 Juta.

Yang teranyar, MiRa mengakuisisi 100% saham PT Realita Jaya Mandiri (RJM) dan PT Masindo Artha Resources (MAR) pada Kamis 19 Maret 2009, senilai US$ 40 juta. Perlu diketahui, MAR adalah pemegang kuasa pertambangan untuk lahan seluas 5.600 ha dan 4.400 ha di Musi Banyuasin. Sementara RJM adalah perusahaan pengelola usaha pertambangan batu bara seluas 1.598 ha di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Cadangan batu bara di tiga lahan ini diperkirakan lebih dari 100 juta ton.

Di balik perusahaan yang agresif ini ada nama keluarga Prananto yang menguasai mayoritas kepemilikan. Membicarakan keluarga ini tak bisa dilepaskan dari peran Djoni Prananto, yang mendirikan MiRa pada 1979. Djoni sendiri ayah dari Beni Prananto, Dirut MiRa saat ini.

Dulu, Djoni adalah anak seorang pengusaha kaya di Kudus, kota di mana orang tuanya berasal dan merintis bisnis keluarga. Ayah Djoni bernama Lim Kim Tjay yang membangun usaha keluarga sejak tahun 1920-an. ”Waktu itu beliau memiliki pabrik kopi, sabun, dan membuat sepatu untuk tentara.

Putra sulung Djoni ini mengungkapkan, ayahnya saat itu berkeinginan untuk mandiri. Djoni kemudian pindah dan melanjutkan SMA-nya di Jakarta pada 1960-an. Di kota metropolitan ini ia ikut dengan pamannya, Liem Sioe Liong, pengusaha yang besar sebagai konglomerat berkat andil Pak Harto. Menurut Beni, di kota besar ini ayahnya sempat menorehkan prestasi sebagai pemain basket nasional di era 1960-1970-an.

 

Dari hubungan persaudaraan lalu berbisnis membuat hubungan keduanya semakin erat. Om Liem pun makin percaya dan menugasi Djoni mengurus angkutan semen untuk kebutuhan Indocement. Dari sini lahirlah MiRa pada 1979. ”Awalnya kami hanya memiliki 20 truk,” ujar Beni sambil mengungkapkan rute saat itu Citeureup-Jawa Barat. Satu tahun kemudian jumlah armada MiRa meningkat menjadi 100 unit. Om Liem sama sekali tak memiliki saham di MiRa. ”Terus terang waktu itu paman ayah saya (Om Liem – Red.) tak membantu (dana). Istilahnya beliau di sini diberi pekerjaan,” tuturnya. Pendanaan 90% berasal dari bank, sedangkan sisanya 10% dari kantong pendiri.

Djoni membangun MiRa memang tak sendiri, tapi bersama dua mitranya, Mulyanto Halim dan Sudwikatmono. Pembagian kepemilikan sahamnya: 60% Djoni, 25% Mulyanto dan 15% Sudwikatmono. MiRa ternyata maju pesat. ”Hampir tiap tahun kami tambah 100 armada,” cerita Beni. Ketika Beni masuk ke jajaran manajemen MiRa pada 1982, total truk mencapai 200 unit.

Armada terus bertambah. Pada 1996, jumlah truk yang dimiliki MiRa mencapai 1.200 unit. Waktu itu komando operasional MiRa sudah berada di tangan Beni. Armada MiRa ini terdiri dari truk Hino, Mercedes-Benz dan Nissan. Komposisinya, 27% berjenis portal, 40% tronton, 30% engkel, dan yang terbesar (trailer) 3%. Kala itu, satu trailer bernilai sekitar Rp 300 juta (sebagai perbandingan, saat ini harga per unit trailer sekitar Rp 1,2 miliar – Red.).

Setelah cukup lama menjalankan usaha di bidang trucking, Djoni mulai percaya diri untuk memulai bisnis lain, walau masih di bidang transportasi. Bersama Sudwikatmono dan Anthony Salim, Djoni merintis usaha transportasi laut dengan mendirikan PT Tasik Madu Shipping (TMS) pada 1982.

Meski mengaku fokus mengembangkan bisnis transportasi, keluarga Prananto berusaha merambah bidang lain. Misalnya, menggarap bisnis plastik film yang dari segi keahlian sebenarnya tak dikuasai. Keterlibatan keluarga Prananto di bisnis ini karena teman Djoni – Budi Harto Angsono (kini almarhum), Dirut PT Aneka Sakti Bakti (Asaba) – mengajak berkongsi. Budi sendiri bermitra dengan Alex Budiman yang memiliki lisensi untuk menjalankan pabrik plastik ini.

Djoni tertarik terjun ke bisnis ini karena saat itu plastik film digunakan sekitar 70% pabrikan di Indonesia, antara lain pabrikan rokok (untuk bungkus rokok yang berwarna bening dan sangat tipis), kertas kado, album foto, sabun, laminasi, dan mi kering.

 

Produksi awalnya sekitar 36 ribu ton setahun. Sekitar 30% dari total produksi diekspor ke Jepang, Hong Kong dan Malaysia. Pengguna produk mereka adalah pabrik makanan (60%), pabrik rokok (10%), dan sisanya untuk industri lainnya.

Bersamaan dengan situasi ekonomi tahun 1990-1995 yang bagus, kondisi MiRa pun bergerak positif. Diungkapkan Beni, pada periode itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6%. ”Bahkan Jakarta masuk dalam kategori kota dengan pertumbuhan gedung tercepat di dunia,” ujar Beni, yang melihat banyak sekali peluang usaha yang bisa dilakukan. Salah satunya transportasi manusia. Maka, pada 1995 MiRa terjun ke bisnis transportasi antarkota antarprovinsi. MiRa meluncurkan bus dengan merek Continental dengan rute Jakarta-Denpasar. ”Saat itu kami menginvestasikan dana hingga puluhan miliar rupiah atau sebanyak 199 unit bus.”

Tak hanya sampai di situ. Beni menyusun rencana mencatatkan MiRa di pasar modal tahun 1996. ”Untuk itu, MiRa harus profesional dan tak bisa hanya mengandalkan pada satu pemberi kerja yaitu Indocement. Maka, kami harus melakukan diversifikasi,” tutur Beni sambil mengungkapkan pada 1996 MiRa menambah armadanya sebanyak 400 unit tronton yang nilai per unitnya Rp 150 juta.

Pada 2006 sebelum mengakuisisi tiga perusahaan migas tadi, MiRa tak hanya melayani angkutan semen milik PT Indocement Tunggal Prakarsa, tapi juga PT Holcim Indonesia dan PT Semen Gresik. Usaha di bidang angkutan semen ini memberi kontribusi hingga 90% bagi pendapatan MiRa saat itu.

Sisanya 10%, berasal dari usaha MiRa melayani angkutan jasa nonsemen seperti industri keramik, pipa, bahan makanan, minyak goreng, tapioka, sepatu dan pasir. Pelanggannya antara lain, PT Petrokimia Gresik, PT Indofood Sukses Makmur, PT Inbisco Niagatama Semesta, dan PT Fatrapolindo Nusa Industri.

 

Kenyataannya, bisnis Fatrapolindo memang tumbuh pesat. Kini total produksi Fatrapolindo mencapai 400 ribu ton atau senilai Rp 2,4 triliun. Namun baru-baru ini setelah perkembangan MiRa yang begitu pesat dan dramatis, ”memaksa” Beni melepaskan posisinya di perusahaan ini. ”Saya ingin berkonsentrasi di MiRa,” ujarnya.

Pemain di industri OPP film memang relatif tidak banyak. Saat ini hanya ada lima pabrik yang menjadi pemain utama, yakni: Arga Karya (pemain terbesar); Tria Santosa (Surabaya); PT Fatrapolindo; perusahaan pecahan Arga Karya; dan anak usaha Grup Salim.

Kehadiran sejumlah perusahaan baru dalam grup usaha MiRa sempat melengkapi kejayaan MiRa pada masa itu. Dan jika diperhatikan tahun dan perkongsian yang terjadi, bisa dikatakan keberadaan grup usaha ini bersamaan dengan zaman keemasan konglomerat era Presiden Soeharto. Kejayaan itu ambruk setelah datangnya badai krismon pada 1997/1998. MiRa pun tak lepas dari badai ini.

Korban pertama yang hancur adalah TMS. Dijelaskan Beni, meski awalnya berjalan lancar, belakangan kinerja perusahaan ini terus tergerus dan hampir mencapai titik nadir.

Situasi krismon juga memengaruhi periuk utama MiRa. Tahun 1998 manajemen Indocement diambil alih oleh Heidelbergcement Group dari Jerman. Akibatnya bisa ditebak, MiRa tidak lagi menjadi perusahaan trucking satu-satunya bagi perusahaan semen itu. ”Namun hingga saat ini pendapatan dari Indocement masih dominan atau 55%-60% (dari omset trucking – Red.),” ujarnya sambil menjelaskan Semen Gresik sendiri memberi kontribusi hingga 25% bagi omset di sektor trucking.

Korban berikutnya, armada Continental. Tahun 2000 Continental diputuskan tak beroperasi lagi. ”Sejak krismon harga suku cadang mahal. Juga, saat itu marak penerbangan murah (low cost carrier) dan tingginya penjualan sepeda motor,” paparnya. Alhasil harga karcis bus hampir sama dengan harga tiket pesawat, sehingga banyak penumpang yang memilih naik pesawat ketimbang bus yang waktu tempuhnya lebih lama. Begitu pula dengan sepeda motor. Makin banyak masyarakat yang beralih ke sepeda motor.

Kondisi krismon ini juga menamatkan riwayat bisnis agro milik keluarga Prananto berupa kebun kopi seluas 500 ha yang dibuka pada 1992 di Desa Wonosalam Jombang, Jawa Timur. Beni menceritakan, pada 1998, kebun ini habis dijarah masyarakat. ”Sejak itu kami tak pernah produksi lagi.” Beni menceritakan, saat ini ia sedang menjajaki mengubah lahan itu menjadi tempat wisata agrobisnis, serta wisata miniatur Indonesia dan dunia.

Setelah 10 tahun melalui masa sulit, kini MiRa bangkit kembali. Beni bisa dikatakan sebagai orang yang paling berperan penting dalam tiap babak perjalanan bisnis keluarganya. Mulai dari masa awal berdirinya, kejayaannya, saat sulit, hingga kebangkitannya kembali. Dan masuknya MiRa ke industri migas menjadi momentum kebangkitan. ”Kini perkembangan MiRa superpesat, karena kami sekarang memiliki aset Rp 10 triliun,” ujar Beni bangga. ”Terus terang saya gak mimpi apa-apa untuk MiRa,” katanya lagi sambil tertawa.

Menurut Beni, memiliki perusahaan yang bergelut di sektor migas memang keinginannya sejak 7 tahun yang lalu. Dorongan ini timbul karena MiRa saat itu tak hanya mengangkut semen tapi juga peralatan penunjang industri migas. Dari sini, ia makin tahu banyak tentang migas. Ia mengaku, sebenarnya ia sudah berusaha mencari perusahaan migas yang bisa dibeli.

Alasan Beni terjun ke bisnis migas karena melihat prospeknya bagus. Ia melihat ketergantungan manusia pada migas cukup besar. Ia tak menampik energi alternatif yang kini banyak ditawarkan, tapi ia melihat hal itu belum akan digunakan massal dan masih banyak kendala.

Menurut Beni, perkenalannya dengan Tito sudah cukup lama. “Kami sama-sama tim sukses Pak Wiranto ketika konvensi capres Golkar,” ujar Beni yang kini tercatat sebagai pendiri dan pengurus inti Partai Hanura yang dikomandani Wiranto.

Di MiRa, kepemilikan keluarga Prananto sudah tak seperti dulu lagi. Beni menuturkan, bila sebelumnya kepemilikan keluarganya di MiRa 57%-60%, sekarang hanya tinggal 13,6%, lewat bendera PT Inti Kencana Pranajati, plus 7,36% lewat PT Mitra Murni Expressindo (yang dibagi tiga: Sudwikatmono memiliki saham 15%, Mulyanto Halim 35% dan Djoni 50%).

 

Untuk bisnis keluarganya, Beni mengaku tak punya rencana dan impian yang muluk.

Pembahasan Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru

 

Latar Belakang

 

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Di balik perusahaan yang agresif ini ada nama keluarga Prananto yang menguasai mayoritas kepemilikan. Membicarakan keluarga ini tak bisa dilepaskan dari peran Djoni Prananto, yang mendirikan MiRa pada 1979. Djoni sendiri ayah dari Beni Prananto, Dirut MiRa saat ini.Tapi, tutup-buka, kecil-kecil saja,” ujar Beni Prananto mengenai sang kakek. Adapun nenek Beni memiliki bisnis transportasi dengan lebih dari 100 unit becak di Kota Rokok ini.Bersama Om Liem, Djoni juga memulai babak baru hidupnya sebagai pebisnis. Awalnya Djoni ikut berdagang kopi mentah (sebagai wholesaler) asal Lampung yang dipasok untuk pabrik-pabrik di Jawa. ”Kalau gak salah sampai ekspor,” ujar Beni yang menyandang gelar Bachelor of Commerce dari Concordia University, Kanada. Selain itu, Djoni juga pernah menjadi importir sepeda motor Lambreta dari Italia. ”Setiap bulan beliau berhasil menjual 500 unit sepeda motor. Di zaman itu angka penjualan tersebut termasuk besar,” tambah pria kelahiran Kudus 3 Januari 1959 ini.Fokusnya sebagai oil business support. Pelanggannya adalah Conoco, Huffco, Total Indonesia, Arco, dan Union Oil. Bahkan, 80% kapal milik TMS melayani keperluan Pertamina yang berpangkalan di Plaju. “Pertama kali kami memiliki 6 kapal, yakni jenis tongkang dan tunda. Ini jenis kapal yang paling murah dan bisa ditinggal,” kata Beni sambil menyebutkan saat itu harga per unitnya sekitar Rp 600 juta, sedangkan sekarang Rp 10 miliar. Pada 1998 – persis sebelum efek krismon mendera – total armada laut TMS mencapai 36 unit (masih terdiri dari kapal tongkang dan tunda).Di sisi lain, waktu itu bisnis ini hanya dikuasai segelintir pemain besar.Ketika akan direalisasi, lagi-lagi Beni yang ditunjuk oleh kongsi ini. Alasannya, hanya Djoni yang memiliki anak yang sudah cukup besar dan dinilai mampu. ”Waktu saya ditawari, saya minta waktu 6 bulan untuk mempelajari pasar, teknik dan know-how-nya,” ujarnya. Toh akhirnya perusahaan itu pun berdiri pada 1990, dengan nama PT Fatrapolindo yang berlokasi di Curug Tangerang.Sejak itu, perusahaan yang listing pada 1997 ini pun membuka diri untuk bermitra bisnis dengan perusahaan lain.

Dulu, Djoni adalah anak seorang pengusaha kaya di Kudus, kota di mana orang tuanya berasal dan merintis bisnis keluarga. Ayah Djoni bernama Lim Kim Tjay yang membangun usaha keluarga sejak tahun 1920-an. ”Waktu itu beliau memiliki pabrik kopi, sabun, dan membuat sepatu untuk tentara.

Putra sulung Djoni ini mengungkapkan, ayahnya saat itu berkeinginan untuk mandiri. Djoni kemudian pindah dan melanjutkan SMA-nya di Jakarta pada 1960-an. Di kota metropolitan ini ia ikut dengan pamannya, Liem Sioe Liong, pengusaha yang besar sebagai konglomerat berkat andil Pak Harto. Menurut Beni, di kota besar ini ayahnya sempat menorehkan prestasi sebagai pemain basket nasional di era 1960-1970-an.

 

Dari hubungan persaudaraan lalu berbisnis membuat hubungan keduanya semakin erat. Om Liem pun makin percaya dan menugasi Djoni mengurus angkutan semen untuk kebutuhan Indocement. Dari sini lahirlah MiRa pada 1979. ”Awalnya kami hanya memiliki 20 truk,” ujar Beni sambil mengungkapkan rute saat itu Citeureup-Jawa Barat. Satu tahun kemudian jumlah armada MiRa meningkat menjadi 100 unit. Om Liem sama sekali tak memiliki saham di MiRa. ”Terus terang waktu itu paman ayah saya (Om Liem – Red.) tak membantu (dana). Istilahnya beliau di sini diberi pekerjaan,” tuturnya. Pendanaan 90% berasal dari bank, sedangkan sisanya 10% dari kantong pendiri.

Djoni membangun MiRa memang tak sendiri, tapi bersama dua mitranya, Mulyanto Halim dan Sudwikatmono. Pembagian kepemilikan sahamnya: 60% Djoni, 25% Mulyanto dan 15% Sudwikatmono. MiRa ternyata maju pesat. ”Hampir tiap tahun kami tambah 100 armada,” cerita Beni. Ketika Beni masuk ke jajaran manajemen MiRa pada 1982, total truk mencapai 200 unit.

Armada terus bertambah. Pada 1996, jumlah truk yang dimiliki MiRa mencapai 1.200 unit. Waktu itu komando operasional MiRa sudah berada di tangan Beni. Armada MiRa ini terdiri dari truk Hino, Mercedes-Benz dan Nissan. Komposisinya, 27% berjenis portal, 40% tronton, 30% engkel, dan yang terbesar (trailer) 3%. Kala itu, satu trailer bernilai sekitar Rp 300 juta (sebagai perbandingan, saat ini harga per unit trailer sekitar Rp 1,2 miliar – Red.).

Setelah cukup lama menjalankan usaha di bidang trucking, Djoni mulai percaya diri untuk memulai bisnis lain, walau masih di bidang transportasi. Bersama Sudwikatmono dan Anthony Salim, Djoni merintis usaha transportasi laut dengan mendirikan PT Tasik Madu Shipping (TMS) pada 1982.

Meski mengaku fokus mengembangkan bisnis transportasi, keluarga Prananto berusaha merambah bidang lain. Misalnya, menggarap bisnis plastik film yang dari segi keahlian sebenarnya tak dikuasai. Keterlibatan keluarga Prananto di bisnis ini karena teman Djoni – Budi Harto Angsono (kini almarhum), Dirut PT Aneka Sakti Bakti (Asaba) – mengajak berkongsi. Budi sendiri bermitra dengan Alex Budiman yang memiliki lisensi untuk menjalankan pabrik plastik ini.

Djoni tertarik terjun ke bisnis ini karena saat itu plastik film digunakan sekitar 70% pabrikan di Indonesia, antara lain pabrikan rokok (untuk bungkus rokok yang berwarna bening dan sangat tipis), kertas kado, album foto, sabun, laminasi, dan mi kering.

 

Produksi awalnya sekitar 36 ribu ton setahun. Sekitar 30% dari total produksi diekspor ke Jepang, Hong Kong dan Malaysia. Pengguna produk mereka adalah pabrik makanan (60%), pabrik rokok (10%), dan sisanya untuk industri lainnya.

Bersamaan dengan situasi ekonomi tahun 1990-1995 yang bagus, kondisi MiRa pun bergerak positif. Diungkapkan Beni, pada periode itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6%. ”Bahkan Jakarta masuk dalam kategori kota dengan pertumbuhan gedung tercepat di dunia,” ujar Beni, yang melihat banyak sekali peluang usaha yang bisa dilakukan. Salah satunya transportasi manusia. Maka, pada 1995 MiRa terjun ke bisnis transportasi antarkota antarprovinsi. MiRa meluncurkan bus dengan merek Continental dengan rute Jakarta-Denpasar. ”Saat itu kami menginvestasikan dana hingga puluhan miliar rupiah atau sebanyak 199 unit bus.”

Tak hanya sampai di situ. Beni menyusun rencana mencatatkan MiRa di pasar modal tahun 1996. ”Untuk itu, MiRa harus profesional dan tak bisa hanya mengandalkan pada satu pemberi kerja yaitu Indocement. Maka, kami harus melakukan diversifikasi,” tutur Beni sambil mengungkapkan pada 1996 MiRa menambah armadanya sebanyak 400 unit tronton yang nilai per unitnya Rp 150 juta.

 

Whole Problem Case

 

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Banyak pihak yang terperangah. Apalagi rangkaian akuisisi itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengambil alih Sabre Systems International Pte. Ltd. (berbasis di Singapura) dan PT Pulau Kencana Raya (lokal), MiRa mengucurkan dana Rp 400 miliar. Yang lebih mengejutkan, ketika perusahaan yang pada 2006 tercatat beraset Rp 86 miliar ini mampu mengeluarkan dana hingga Rp 5,15 triliun (80,57% kepemilikan saham) untuk akuisisi Apexindo (80,57% saham).

Rupanya agresivitas MiRa tak berhenti di situ. Februari 2009, melalui anak perusahaannya, Sabre Offshore Marine Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura melakukan pembelian fasilitas floating production storage and offloading (FPSO). Total nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 25 Juta.

Yang teranyar, MiRa mengakuisisi 100% saham PT Realita Jaya Mandiri (RJM) dan PT Masindo Artha Resources (MAR) pada Kamis 19 Maret 2009, senilai US$ 40 juta. Perlu diketahui, MAR adalah pemegang kuasa pertambangan untuk lahan seluas 5.600 ha dan 4.400 ha di Musi Banyuasin. Sementara RJM adalah perusahaan pengelola usaha pertambangan batu bara seluas 1.598 ha di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Cadangan batu bara di tiga lahan ini diperkirakan lebih dari 100 juta ton.

Pada 2006 sebelum mengakuisisi tiga perusahaan migas tadi, MiRa tak hanya melayani angkutan semen milik PT Indocement Tunggal Prakarsa, tapi juga PT Holcim Indonesia dan PT Semen Gresik. Usaha di bidang angkutan semen ini memberi kontribusi hingga 90% bagi pendapatan MiRa saat itu.Kehadiran Titan membuat kepemilikan saham keluarga Prananto di perusahaan ini terdilusi hingga tinggal 3% (dari semula 25%).“Sekarang kami hanya memiliki tiga unit. Dua kapal tunda (disewakan) dan satu kapal tanker.” Alasannya, perusahaannya tak sanggup bersaing dengan perusahaan asing. ”Bisnis kapal itu luar biasa kompleks.”Namun, tak disangka-sangka pada 2007 ia mendapat kesempatan mengakuisisi perusahaan di sektor ini. Prosesnya terbilang cepat. Sejak bertemu Tito Sulistio (pemilik Sabre Systems International dan Pulau Kencana Raya) di pesawat hingga akhirnya deal hanya butuh dua minggu. Meski sebagian pihak menilai transaksi ini terkesan kontroversial, akuisisi itu berjalan lancar. ”Seluruh dunia bersatu mendukung akuisisi itu,” ujarnya mengklaim.Adapun pemegang yang lain di MiRa adalah Blue Coral Capital Ltd. 19,18%, Heronswood Assets Management Ltd. 5,24%, dan sisanya publik. Yang pasti sejak mengakuisisi perusahaan migas, MiRa tak bisa dikategorikan lagi sebagai perusahaan trucking karena lebih dari 80% kontribusi pendapatan berasal dari migas. Tak heran nama Mitra Rajasa saat ini secara resmi telah berubah menjadi PT Mitra International Resources.Lalu apa rencana perusahaan ini ke depan? ”Ekspansi kemungkinan masih akan ada. Dalam kondisi krisis seperti saat ini kami harus memanfaatkan: ini saatnya menanam karena (harga aset) termurah,” tuturnya. Bidang ekspansinya? ”Kami akan fokus di energi. Masih dalam konteks energi contohnya pertambangan batu bara, ladang minyak, penyulingan, gas. Pokoknya masih banyak,” kata Beni bersemangat. Hal ini diamini Tito. ”Kami ingin menjadi perusahaan lokal yang resource-based. Kami punya services seperti rig, drilling, trucking, oil field, transportasi LNG, dan di tengahnya kami punya energi dan resource-based,” ujar mantan orang kepercayaan Titiek Hediati ini. Ia sendiri tak berpikir mengincar pasar di luar Indonesia. “Indonesia saja pasarnya masih gede dan kebutuhannya masih banyak di sini,” Preskom MiRa ini menambahkan.Dalam mengelola aset keluarga Prananto, Beni tetap ditugasi menggawangi MiRa. Di sini ia dibantu adiknya Roni Prananto yang berposisi sebagai komisaris. Adapun, adiknya, Lusi Prananto, diberi tanggung jawab mengurus restoran Tony Roma’s dan California Pizza Kitchen. Adik lelaki Beni lainnya, Toni Prananto, menjadi Dirut PT Sumber Kencana, distributor Indocement.

Sisanya 10%, berasal dari usaha MiRa melayani angkutan jasa nonsemen seperti industri keramik, pipa, bahan makanan, minyak goreng, tapioka, sepatu dan pasir. Pelanggannya antara lain, PT Petrokimia Gresik, PT Indofood Sukses Makmur, PT Inbisco Niagatama Semesta, dan PT Fatrapolindo Nusa Industri.

Upaya masuk ke pasar modal tak hanya dilakukan Beni terhadap MiRa, tapi juga Fatrapolindo. Tahun 2004 ia berhasil mengantar Fatrapolindo go public. Tak lama setelahnya, datang investor baru dari Malaysia, Titan Chemical, yang kemudian menguasai hingga 95% kepemilikan saham.

Kenyataannya, bisnis Fatrapolindo memang tumbuh pesat. Kini total produksi Fatrapolindo mencapai 400 ribu ton atau senilai Rp 2,4 triliun. Namun baru-baru ini setelah perkembangan MiRa yang begitu pesat dan dramatis, ”memaksa” Beni melepaskan posisinya di perusahaan ini. ”Saya ingin berkonsentrasi di MiRa,” ujarnya.

Pemain di industri OPP film memang relatif tidak banyak. Saat ini hanya ada lima pabrik yang menjadi pemain utama, yakni: Arga Karya (pemain terbesar); Tria Santosa (Surabaya); PT Fatrapolindo; perusahaan pecahan Arga Karya; dan anak usaha Grup Salim.

Kehadiran sejumlah perusahaan baru dalam grup usaha MiRa sempat melengkapi kejayaan MiRa pada masa itu. Dan jika diperhatikan tahun dan perkongsian yang terjadi, bisa dikatakan keberadaan grup usaha ini bersamaan dengan zaman keemasan konglomerat era Presiden Soeharto. Kejayaan itu ambruk setelah datangnya badai krismon pada 1997/1998. MiRa pun tak lepas dari badai ini.

Korban pertama yang hancur adalah TMS. Dijelaskan Beni, meski awalnya berjalan lancar, belakangan kinerja perusahaan ini terus tergerus dan hampir mencapai titik nadir.

Situasi krismon juga memengaruhi periuk utama MiRa. Tahun 1998 manajemen Indocement diambil alih oleh Heidelbergcement Group dari Jerman. Akibatnya bisa ditebak, MiRa tidak lagi menjadi perusahaan trucking satu-satunya bagi perusahaan semen itu. ”Namun hingga saat ini pendapatan dari Indocement masih dominan atau 55%-60% (dari omset trucking – Red.),” ujarnya sambil menjelaskan Semen Gresik sendiri memberi kontribusi hingga 25% bagi omset di sektor trucking.

Korban berikutnya, armada Continental. Tahun 2000 Continental diputuskan tak beroperasi lagi. ”Sejak krismon harga suku cadang mahal. Juga, saat itu marak penerbangan murah (low cost carrier) dan tingginya penjualan sepeda motor,” paparnya. Alhasil harga karcis bus hampir sama dengan harga tiket pesawat, sehingga banyak penumpang yang memilih naik pesawat ketimbang bus yang waktu tempuhnya lebih lama. Begitu pula dengan sepeda motor. Makin banyak masyarakat yang beralih ke sepeda motor.

Kondisi krismon ini juga menamatkan riwayat bisnis agro milik keluarga Prananto berupa kebun kopi seluas 500 ha yang dibuka pada 1992 di Desa Wonosalam Jombang, Jawa Timur. Beni menceritakan, pada 1998, kebun ini habis dijarah masyarakat. ”Sejak itu kami tak pernah produksi lagi.” Beni menceritakan, saat ini ia sedang menjajaki mengubah lahan itu menjadi tempat wisata agrobisnis, serta wisata miniatur Indonesia dan dunia.

Setelah 10 tahun melalui masa sulit, kini MiRa bangkit kembali. Beni bisa dikatakan sebagai orang yang paling berperan penting dalam tiap babak perjalanan bisnis keluarganya. Mulai dari masa awal berdirinya, kejayaannya, saat sulit, hingga kebangkitannya kembali. Dan masuknya MiRa ke industri migas menjadi momentum kebangkitan. ”Kini perkembangan MiRa superpesat, karena kami sekarang memiliki aset Rp 10 triliun,” ujar Beni bangga. ”Terus terang saya gak mimpi apa-apa untuk MiRa,” katanya lagi sambil tertawa.

Menurut Beni, memiliki perusahaan yang bergelut di sektor migas memang keinginannya sejak 7 tahun yang lalu. Dorongan ini timbul karena MiRa saat itu tak hanya mengangkut semen tapi juga peralatan penunjang industri migas. Dari sini, ia makin tahu banyak tentang migas. Ia mengaku, sebenarnya ia sudah berusaha mencari perusahaan migas yang bisa dibeli.

Alasan Beni terjun ke bisnis migas karena melihat prospeknya bagus. Ia melihat ketergantungan manusia pada migas cukup besar. Ia tak menampik energi alternatif yang kini banyak ditawarkan, tapi ia melihat hal itu belum akan digunakan massal dan masih banyak kendala.

Menurut Beni, perkenalannya dengan Tito sudah cukup lama. “Kami sama-sama tim sukses Pak Wiranto ketika konvensi capres Golkar,” ujar Beni yang kini tercatat sebagai pendiri dan pengurus inti Partai Hanura yang dikomandani Wiranto.

Di MiRa, kepemilikan keluarga Prananto sudah tak seperti dulu lagi. Beni menuturkan, bila sebelumnya kepemilikan keluarganya di MiRa 57%-60%, sekarang hanya tinggal 13,6%, lewat bendera PT Inti Kencana Pranajati, plus 7,36% lewat PT Mitra Murni Expressindo (yang dibagi tiga: Sudwikatmono memiliki saham 15%, Mulyanto Halim 35% dan Djoni 50%).

 

Untuk bisnis keluarganya, Beni mengaku tak punya rencana dan impian yang muluk.

 

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dengan mengakuisisi perusahaan yang bergerak pada bidang migas, MiRa dapat berkembang dengan pesat
  • Dengan resesi yang dialami Indonesia, MiRa pun turut terpuruk atas kejadian tersebut. Namun dengan kemampuan Beni dalam melihat peluang, MiRa dapat kembali bangkit

 

important knowledge in company

 

  • Inovatif
  • Mampu memanfaatkan modal yang tersedia
  • Jeli dalam melihat peluang
  • Mampu memberdayakan sumber daya yang dimiliki
  • Memiliki orang – orang yang mempunyai keahlian

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Dengan kemampuan yang dimiliki orang – orang di belakang MiRa, perusahaan dapat kembali bangkit dari keterpurukan akibat resesi
  • Mampu melihat peluang dengan mengakuisisi perusahaan – perusahaan yang bergerak dalam bidang migas

 

Knowledge Goal

 

  • Meningkatkan kerja sama dengan perusahaan – perusahaan lain
  • Meningkatkan komunikasi dalam rangka pengembangan bisnisnya
  • Memberikan knowledge tentang bagaimana melihat peluang – peluang yang ada

 

Posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ) | Leave a comment

Esia Keluarkan Paket Perdana Edisi Terbatas

Esia Keluarkan Paket Perdana Edisi Terbatas
Rabu, 20 Mei 2009
Oleh : Dede Suryadi

Esia tidak henti-hentinya mengeluarkan langkah inovatif. Esia baru saja meluncurkan ”Esia 8” yang berisi dua keunikan dan keuntungan sekaligus, khusus bagi warga Jakarta yaitu paket perdana baru dan pilihan tarif baru.

Paket perdana baru ini memiliki beberapa keunikan. Tawaran paling menonjol ada di nomor telponnya karena bukan berawalan “9” seperti semua nomor Esia selama ini, tetapi berawalan “8” yang sering disebut sebagai angka keberuntungan. Esia hanya akan keluarkan jumlah paket “Esia 8” khusus ini yang sangat terbatas karena nomor ini memang hanya ada alokasi terbatas, sehingga paket perdana dan nomor-nomor berkepala “8” ini disebut sebagai edisi terbatas.

Uniknya lagi, paket perdana “Esia 8” memiliki tarif yang juga unik dan sangat murah serta sederhana bagi pelanggan Esia, terutama bagi yang sering telpon ke nomor operator lain. Suatu tawaran tarif menguntungkan yang diciptakan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan situasi nyata yang berkembang di tengah masyarakat.

”Dari dulu Esia sudah dikenal sebagai pelopor tarif murah dan tetap termurah. Kami ingin memperkuat kesan tersebut dengan kembali bikin kejutan melalui pilihan tarif terbarunya. Tarif ini sengaja kami buat sesuai komitmen awal, konsisten dan transparan bagi pelanggannya: murah, sederhana dan berlaku sepanjang hari, setiap hari, sejak menit pertama tiap nelponnya tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku”, ujar Erik Meijer, Wakil Direktur Utama PT Bakrie Telecom Tbk.

Ditegaskannya kembali bahwa tarif antar sesama pelanggan Esia tidak diragukan lagi sudah pasti murah dan menguntungkan. Namun ada beberapa pelanggan yang masih juga sering nelpon ke rekan atau kerabatnya yang masih pakai nomor GSM.

”Ini kenyataan. Harus diakui bahwa market share GSM di Indonesia masih jauh lebih besar dibanding CDMA. Kami tak menampik kenyataan tersebut. Namun mendengar dan memahami informasi pelanggan ini, Esia langsung menjawabnya dengan menurunkan tarif panggilannya ke semua nomor GSM lokal sebesar 40% menjadi hanya Rp 480 per menit (diluar ppn). Dengan demikian tarif telpon Esia ke GSM menjadi jauh lebih murah di banding tarif telpon antar nomor GSM yang bisa sampai 3x lebih mahal!,” papar Erik mengomentari keuntungan menggunakan Esia untuk melakukan percakapan telepon dengan pelanggan operator GSM di kota yang sama.

Tarif menguntungkan juga diterapkan bagi pelanggan Esia yang sering menelpon pelanggan operator lain di luar kota atau luar negeri. Kini Esia memberi solusi dengan tarif termurah telpon ke seluruh kota maupun seluruh dunia dengan tarif hanya Rp 800 per menit (diluar ppn), kemanapun di Indonesia ataupun di dunia. Untuk telpon keluar negeri dgn tarif semurah ini harus melalui kode akses 01010.

Kejutan Esia ternyata tidak berhenti pada soal tarif saja. Karena Esia mengerti bahwa setiap pelanggan pasti ada kebutuhan dan keinginan sendiri, maka Esia memberi kesempatan bagi seluruh pelanggannya untuk memilih sendiri paket tarif yang diinginkannya. Artinya, pembeli paket perdana “Esia 8” dapat memilih untuk berpindah ke tarif regular Esia yang dikenal selama ini jika diinginkan, dan sebaliknya pelanggan Esia nomor regular berkepala “9” juga dapat menikmati tarif terbaru 80-480-800.

Pembahasan Esia Keluarkan Paket Perdana Edisi Terbatas

 

Latar Belakang

 

PT Bakrie Telecom Tbk adalah perusahaan yang bergerak pada bidang komunikasi. Khususnya sebagai provider CDMA, yaitu esia.

 

Whole Problem Case

 

Paket perdana baru ini memiliki beberapa keunikan. Tawaran paling menonjol ada di nomor telponnya karena bukan berawalan “9” seperti semua nomor Esia selama ini, tetapi berawalan “8” yang sering disebut sebagai angka keberuntungan. Esia hanya akan keluarkan jumlah paket “Esia 8” khusus ini yang sangat terbatas karena nomor ini memang hanya ada alokasi terbatas, sehingga paket perdana dan nomor-nomor berkepala “8” ini disebut sebagai edisi terbatas.Untuk telpon keluar negeri dgn tarif semurah ini harus melalui kode akses 01010.

Uniknya lagi, paket perdana “Esia 8” memiliki tarif yang juga unik dan sangat murah serta sederhana bagi pelanggan Esia, terutama bagi yang sering telpon ke nomor operator lain. Suatu tawaran tarif menguntungkan yang diciptakan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan situasi nyata yang berkembang di tengah masyarakat.

”Dari dulu Esia sudah dikenal sebagai pelopor tarif murah dan tetap termurah. Kami ingin memperkuat kesan tersebut dengan kembali bikin kejutan melalui pilihan tarif terbarunya. Tarif ini sengaja kami buat sesuai komitmen awal, konsisten dan transparan bagi pelanggannya: murah, sederhana dan berlaku sepanjang hari, setiap hari, sejak menit pertama tiap nelponnya tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku”, ujar Erik Meijer, Wakil Direktur Utama PT Bakrie Telecom Tbk.

Ditegaskannya kembali bahwa tarif antar sesama pelanggan Esia tidak diragukan lagi sudah pasti murah dan menguntungkan. Namun ada beberapa pelanggan yang masih juga sering nelpon ke rekan atau kerabatnya yang masih pakai nomor GSM.

”Ini kenyataan. Harus diakui bahwa market share GSM di Indonesia masih jauh lebih besar dibanding CDMA. Kami tak menampik kenyataan tersebut. Namun mendengar dan memahami informasi pelanggan ini, Esia langsung menjawabnya dengan menurunkan tarif panggilannya ke semua nomor GSM lokal sebesar 40% menjadi hanya Rp 480 per menit (diluar ppn). Dengan demikian tarif telpon Esia ke GSM menjadi jauh lebih murah di banding tarif telpon antar nomor GSM yang bisa sampai 3x lebih mahal!,” papar Erik mengomentari keuntungan menggunakan Esia untuk melakukan percakapan telepon dengan pelanggan operator GSM di kota yang sama.

Tarif menguntungkan juga diterapkan bagi pelanggan Esia yang sering menelpon pelanggan operator lain di luar kota atau luar negeri. Kini Esia memberi solusi dengan tarif termurah telpon ke seluruh kota maupun seluruh dunia dengan tarif hanya Rp 800 per menit (diluar ppn), kemanapun di Indonesia ataupun di dunia.

Kejutan Esia ternyata tidak berhenti pada soal tarif saja. Karena Esia mengerti bahwa setiap pelanggan pasti ada kebutuhan dan keinginan sendiri, maka Esia memberi kesempatan bagi seluruh pelanggannya untuk memilih sendiri paket tarif yang diinginkannya. Artinya, pembeli paket perdana “Esia 8” dapat memilih untuk berpindah ke tarif regular Esia yang dikenal selama ini jika diinginkan, dan sebaliknya pelanggan Esia nomor regular berkepala “9” juga dapat menikmati tarif terbaru 80-480-800.

 

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dengan mengeluarkan paket perdana edisi terbatas dengan nomor berawalan ”8” esia berinovasi ditengah – tengah persaingan antar sesama provider telepon, baik CDMA maupun GSM
  • Esia juga tetap menjaga mutu nya dengan memberikan pelayanan dengan tarif yang tetap murah

 

important knowledge in company

 

  • Inovatif
  • Memberikan tarif murah bagi pengguna esia
  • Mengutamakan pelanggan
  • Berani bersaing

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Dengan mengeluarkan paket perdana edisi terbatas, esia mencoba berinovasi ditengah – tengah persaingan sesama provider

 

Knowledge Goal

 

  • Pelanggan semakin dimanjakan dengan tarif yang murah
  • Pelanggan memiliki kebanggaan tersendiri dengan memiliki paket perdana yang terbatas tersebut
  • Meningkatkan inovasi dengan tujuan meningkatkan pelayanan

 

Posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ) | Leave a comment

Coffee Toffee, Sedapnya Aroma Bisnis Kedai Kopi Lokal

Coffee Toffee, Sedapnya Aroma Bisnis Kedai Kopi Lokal
Kamis, 30 April 2009
Oleh : Eva Martha Rahayu/Suhariyanto

Rasanya pahit, tapi banyak yang tergiur memperebutkannya. Itulah bisnis minuman kopi yang kini diincar banyak orang. Mulai dari yang membuka warung kopi, kafe hingga yang eksklusif di hotel berbintang, semua tergiur ingin menikmati sedapnya berbisnis minuman kopi. Mereka yakin, keuntungan yang diperoleh pasti tidak sepahit rasa kopinya. Apalagi, kita saksikan juga, Starbucks dan Coffee Bean yang notabene merek asing berhasil mendulang sukses di Tanah Air. Pebisnis kopi mana yang tidak ngiler?

Termasuk Odi Anindito, anak muda dari Surabaya yang tergerak mengusung minuman kopi lokal setara dengan merek asing. Setidaknya, ia ingin kopi lokal juga bisa dinikmati di kafe atau bisa dibeli dengan cara takeaway. Maka, tahun 2005 ia memperkenalkan Coffee Toffee (CT) dengan konsep gerai minikafe. Setelah gerai perdana dibuka di Surabaya, kini CT sudah memiliki 60 gerai yang tersebar di Jabotabek, Bandung, Bali hingga Kalimantan Tengah.Dari awal, Odi memang pede dengan bisnis CT-nya ini. Hal itu lantaran dia sudah mengantongi ilmunya saat berada di Merlbourne, Australia. Ketika itu ia cuti kuliah di Jurusan Teknik Informartika ITS, Surabaya, untuk kuliah diploma bidang Small Business & International Business Marketing di sebuah lembaga pendidikan di Melbourne. Di sana, Odi sempat bekerja paruh waktu di coffee shop. “Di sanalah saya baru tahu bahwa kopi ternyata punya 25 varian dan 8 di antaranya adalah blended dari kopi Indonesia. Karena di Australia laris, saya juga ingin buka di Indonesia,” papar arek Suroboyo yang lahir 29 tahun lalu itu.Pada tahap awal pembukaan CT, Odi mesti berinvestasi Rp 50 juta. Dana itu digunakan untuk modal kerja dan bayar upah karyawan. Untuk tempat, ia meminjam gedung orang tuanya yang biasa dipakai bisnis kursus bahasa Inggris, yaitu di Jl. Dharmahusada Raya, Surabaya. Asal tahu saja, modal itu berasal dari kantongnya sendiri, karena tahun 2004 ia dan kawan-kawannya sudah memiliki bisnis bidang jasa informasi kesehatan. Namanya Health Caren dan sudah banyak klien yang ditangani, seperti RS Dr. Soetomo, RS Angkatan Laut Surabaya, serta beberapa rumah sakit di Sumatera dan Kalimantan.Pria yang hobi minum kopi ini mengaku, mula-mula CT diperkenalkan dalam bentuk gerobak rombong agar orang membeli dengan takeaway. Rupanya, konsep itu kurang laku di pasaran. Lalu, ia menyempurnakan konsep penjualan takeaway dengan dilengkapi kafe. Sebab orang yang beli kopi tak hanya dibawa pulang, melainkan juga ingin nongkrong di lokasi CT. Kemudian, ia menjajal masuk ke mal dengan membuka gerai CT di Tunjungan Plasa. Bisa ditebak, respons pasar sangat antusias. Sayang, Odi tutup mulut saat dikorek informasi berapa omset rata-rata yang dia kantongi tiap bulan.Tak puas hanya memiliki gerai dalam hitungan jari, Odi ingin CT berkembang biak. Sayang, ia tak memiliki modal besar. Strategi yang ditempuh adalah menawarkan pola kerja sama waralaba. Ada empat paket sistem franchise CT: Coffee Booth dengan investasi Rp 70 juta; Coffee Kiosk Rp 85 juta; Coffee Mobile Rp 95 juta; dan Coffee Shop dengan modal terbesar Rp 195 juta. Dana investasi itu sudah termasuk fee manajemen, perlengkapan, dan pelatihan. “Jadi, franchisee cukup menyediakan tempat dan membeli bahan baku blended kopi dari kami,” tambah Direktur Pengelola CT itu. Masa kontrak kerja sama ini lima tahun dan bisa diperpanjang dengan membayar biaya Rp 25 juta. Tak dinyana, sistem waralabanya itu juga diminati calon investor.Selanjutnya, Odi tak mau hanya berkutat di Surabaya. Ia ingin melebarkan sayap hingga ke beberapa kota. Gayung pun bersambut. Sejumlah investor dari Bali, Palangkaraya dan Jakarta menyambutnya dengan hangat. Tahun 2007, datanglah Bambang Subagyo, pemilik kedai donat Double Dipps Donuts & Coffee (DDDC). Pria ini tidak mau menjadi terwaralaba, tapi langsung ingin menjadi bagian dari owner CT.Setelah dilakukan negosiasi dan kalkukasi, mereka sepakat berkolaborasi sebagai pemegang saham CT dengan komposisi fifty-fifty. Dengan Odi memberikan 50% saham CT ke Bambang, konsekuensinya Bambang juga memberikan 50% saham DDDC. Sekadar informasi DDDC ini juga diwaralabakan. Untuk membuka gerai DDDC dibutuhkan investasi Rp 80 juta setiap gerai. Saat ini ada 20 gerai DDDC di Jabotabek. “Saya tertarik bergabung dengan CT, karena kafe ini menggunakan produk kopi lokal. Apalagi Pak Odi punya keterbatasan untuk mengembangkan bisnis di luar Surabaya dan Indonesia Timur. Jadi, tugas saya mengembangkan CT di Jawa Barat,” Bambang menjelaskan. Setelah Bambang terlibat di CT, dalam sebulan pihaknya mampu membuka empat gerai CT di Jakarta dan yang pertama lokasinya di Mal Kelapa Gading. Pengembangan CT itu dilakukan dengan waralaba. Rata-rata terwaralaba membeli paket Coffee Kiosk. Paket ini banyak diminati lantaran tidak perlu investasi terlalu besar, tapi cepat mencapai break even point (BEP). Target BEP Coffee Kiosk 20 bulan. “Tapi beberapa gerai bisa BEP kurang dari 20 bulan, contohnya cabang di Bina Nusantara, Serpong,” kata Bambang. Untuk memajukan CT ke depan, Odi dan Bambang menargetkan dalam setahun bisa membuka 25 gerai di seluruh Indonesia. Bagi Bambang, target itu tidak muluk atau terlalu sulit, karena ia sendiri di Jawa Barat rata-rata mampu membuka 16 gerai per tahun. Selain itu, baik Odi maupun Bambang, bertekad akan terus menguasai segmen pasar menengah dalam menawarkan kopi, tanpa harus membuat malu konsumen kalangan atas untuk singgah di kedai CT.Inggit Gunarsih, termasuk orang yang rajin menyambangi gerai CT. Dalam seminggu, rata-rata ia nongkrong di gerai CT di Dharmahusada Raya empat kali atau sebulan 16 kali. “Saya memang hobi minum kopi dan CT adalah favorit saya, karena harga murah, tapi kualitas tidak kalah dari kafe asing,” ucap mahasiswa Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya itu sembari menyebut harga secangkir kopi di CT Rp 10-14 ribu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pembahasan Coffee Toffee, Sedapnya Aroma Bisnis Kedai Kopi Lokal

 

Latar Belakang

 

Pada tahun 2005, Odi Anindito pertama kali mengenlkan coffee toffee kepada masyarakat luas. Dengan konsep gerai minikafe, pemuda asal Surabaya ini membuka gerainya pertama kali di Surabaya. Dan sampai sekarang sudah kurang lebih 60 gerai telah dibukanya yang tersebar pada wilayah Jabotabek, Bandung, Bali, hingga Kalimantan tengah.

 

Whole Problem Case

 

Pada tahap awal pembukaan CT ( Coffee Toffee ), Odi mesti berinvestasi Rp 50 juta. Dana itu digunakan untuk modal kerja dan bayar upah karyawan. Untuk tempat, Odi meminjam gedung orang tuanya yang biasa dipakai bisnis kursus bahasa Inggris, yaitu di Jl. Dharmahusada Raya, Surabaya.


Mula – mula CT diperkenalkan dalam bentuk gerobak rombong agar orang membeli dengan takeaway. Rupanya, konsep itu kurang laku di pasaran. Lalu, ia menyempurnakan konsep penjualan takeaway dengan dilengkapi kafe. Sebab orang yang beli kopi tak hanya dibawa pulang, melainkan juga ingin nongkrong di lokasi CT. Kemudian, Odi menjajal masuk ke mal dengan membuka gerai CT di Tunjungan Plasa. Bisa ditebak, respons pasar sangat antusias.


Tak puas hanya memiliki gerai dalam hitungan jari, Odi ingin CT berkembang biak. Namun, ia tak memiliki modal besar. Strategi yang ditempuh adalah menawarkan pola kerja sama waralaba. Ada empat paket sistem franchise CT: Coffee Booth dengan investasi Rp 70 juta; Coffee Kiosk Rp 85 juta; Coffee Mobile Rp 95 juta; dan Coffee Shop dengan modal terbesar Rp 195 juta. Dana investasi itu sudah termasuk fee manajemen, perlengkapan, dan pelatihan. “Jadi, franchisee cukup menyediakan tempat dan membeli bahan baku blended kopi dari kami,” tambah Direktur Pengelola CT itu. Masa kontrak kerja sama ini lima tahun dan bisa diperpanjang dengan membayar biaya Rp 25 juta. Tak dinyana, sistem waralabanya itu juga diminati calon investor.

Selanjutnya, Odi tak mau hanya berkutat di Surabaya. Ia ingin melebarkan sayap hingga ke beberapa kota. Gayung pun bersambut. Sejumlah investor dari Bali, Palangkaraya dan Jakarta menyambutnya dengan hangat. Tahun 2007, datanglah Bambang Subagyo, pemilik kedai donat Double Dipps Donuts & Coffee (DDDC). Pria ini tidak mau menjadi terwaralaba, tapi langsung ingin menjadi bagian dari owner CT.

Setelah dilakukan negosiasi dan kalkukasi, mereka sepakat berkolaborasi sebagai pemegang saham CT dengan komposisi fifty-fifty. Dengan Odi memberikan 50% saham CT ke Bambang, konsekuensinya Bambang juga memberikan 50% saham DDDC. Sekadar informasi DDDC ini juga diwaralabakan. Untuk membuka gerai DDDC dibutuhkan investasi Rp 80 juta setiap gerai. Saat ini ada 20 gerai DDDC di Jabotabek. “Saya tertarik bergabung dengan CT, karena kafe ini menggunakan produk kopi lokal. Apalagi Pak Odi punya keterbatasan untuk mengembangkan bisnis di luar Surabaya dan Indonesia Timur. Jadi, tugas saya mengembangkan CT di Jawa Barat,” Bambang menjelaskan.

Setelah Bambang terlibat di CT, dalam sebulan pihaknya mampu membuka empat gerai CT di Jakarta dan yang pertama lokasinya di Mal Kelapa Gading. Pengembangan CT itu dilakukan dengan waralaba. Rata – rata terwaralaba membeli paket Coffee Kiosk. Paket ini banyak diminati lantaran tidak perlu investasi terlalu besar, tapi cepat mencapai break even point ( BEP ). Target BEP Coffee Kiosk 20 bulan. “Tapi beberapa gerai bisa BEP kurang dari 20 bulan, contohnya cabang di Bina Nusantara, Serpong,” kata Bambang.

Untuk memajukan CT ke depan, Odi dan Bambang menargetkan dalam setahun bisa membuka 25 gerai di seluruh Indonesia. Bagi Bambang, target itu tidak muluk atau terlalu sulit, karena ia sendiri di Jawa Barat rata – rata mampu membuka 16 gerai per tahun. Selain itu, baik Odi maupun Bambang, bertekad akan terus menguasai segmen pasar menengah dalam menawarkan kopi, tanpa harus membuat malu konsumen kalangan atas untuk singgah di kedai CT.

 

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dalam upaya pengembangan CT, Odi memilih strategi waralaba
  • Odi sebagai pemilik CT, berkolaborasi dengan investor pemilik DDDC

 

important knowledge in company

 

  • Mengutamakan pengetahuan dan wawasan
  • Inovasi
  • Mengikuti perkembangan
  • Mampu melihat selera konsumen

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Dengan berkolaborasi dengan para investor, maka CT dapat berkembang dengan cepat

 

Knowledge Goal

 

  • Dengan menerima para investor, Odi sebagai pemilik CT berharap agar CT dapat berkembang
  • Odi dan Bambang sebagai pemilik saham, menargetkan dapat mengembangkan rata – rata 16 gerai per tahun
  • Saling berbagi knowledge antara sesama gerai dalam memberikan pelayanan kepada konsumen
  • Meningkatkan komunikasi kepada customer dengan tujuan meningkatkan pelayanan
Posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ) | 1 Comment

Company In Globalize Economy

Commonly held and contrastive feature

 

  • Mads Ovlisen sebagai CEO tidak mempermasalahkan dalam perekrutan orang – orang terbaik dalam berbagai disiplin ilmu.
  • Pada tahun 1990 perusahaan mengalami penurunan, dan kemudian munculah inovasi untuk membentuk tim elite untuk mengatasi masalah pada perusahaan dengan memperbaiki komunikasi secara vertikal dan horizontal
  • Henrik gurtler sebagai salah satu manager yang bertanggung jawab dalam pembentukan tim elite yang disebut sebagai facilitator, mengirim email kepada lebih dari seluruh manager sepanjang perusahaan dalam rangka penseleksian untuk tim elite
  • September 1996, 14 facilitator terbentuk
  • Facilitator sebagai knowledge management

 

Important knowledge in company

 

  • Mengutamakan pengetahuan
  • Cara memperbaiki komunikasi
  • Cara menjalankan proses bisnis dengan berbagai kebijakan
  • Visi dan misi, serta kebijakan – kebijakan yang dijalankan
  • Identifikasi apa yang terjadi pada unit – unit lokal yang tersebar di seluruh dunia, dengan kepedulian yang besar
  • Kepedulian kepada para karyawan
  • Memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan dengan tidak memaklumi malpraktek

 

Cross cultural interfaces & Knowledge domain

 

  • Peran dari tim khusus yang disebut sebagai facilitator untuk transfer nilai dan cara – cara yang lebih baik di sepanjang perusahaan di seluruh dunia
  • Facilitator sebagai agen multicultural menciptakan persamaan keunggulan di sepanjang perusahaan
  • Facilitator sebagai bentuk knowledge management
Posted in Novo Nordisk ( Knowledge Management ) | 2 Comments

Are You Hobby. .

sound-system

Untuk yang satu ini, gue cukup hobi. Sound system untuk mobil. . .

Awalnya karena emang hobi main2 di mobil, begitu bawa mobil sendiri dan dapet tanggung jawab buat ngurusin tuh mobil, rasanya nggak puas dengan apa yang standart di mobil. Mulailah coba2 buat brani ngutak ngatik mobil. Dan ini jadi hobi yang menyenangkan. Dan skarang gue coba tekunin buat installasi audio di mobil. Mulai dari pasang di bengkel2 yang pada akhirnya gak puas, bukan karena hasilnya yg gak memuaskan sih, tapi lebih karena emang gue pengen ngerti tentang yang satu ini, jadi gue bongkar lagi, dan coba2 pasang lagi. Sebenernya gak terlalu rumit, tapi ilmu tentang yang satu ini cukup dalem kalau mau dipelajarin lebih lanjut. Kalau hobi yang satu ini ditekunin serius, bisa jadi sesuatu yang menyenangkan, tapi klo setengah2 malah bikin stres karena gak karuan hasilnya. Apalagi buat yang kebanyakan waktunya habis di dalem mobil. Modal yang pertama buat hobi ini, mesti brani buat ngutak ngatik mobil, ya mobil sendiri tentunya jangan mobil orang di utak atik. Kedua ya harus rela buat nyisihin uang jajan, karena emang hobi ini cukup butuh banyak modal. Trus juga mau banyak cari tau tentang sound system, baca2 artikel, dateng ke contest2, tanya2, ya macem2lah. Rasanya ada kepuasan lebih kalau lagi setel musik dan denger harmonisasi suara yang keluar.

Ada 2 kelas sih yang gue tau. SPL ( Sound Pressure Level ) dan SQL ( Sound Quality Level ). SPL lebih dominan dengan suara bass yang menggelegar. SQL lebih ke harmonisasi suara yang dihasilin. Buat yang suka geber bass, kayak anak gaul jaman sekarang, SPL tentunya. Tapi klo yang suka harmonisasi antara treble, mid, sama woofer, SQL asik banget. Klo gue lebih suka SPL, rasanya puas banget denger subwoofer nya digeber. Buat yang hobi nya sama seperti gue, ada baiknya saling share ilmu dan informasi tentang ini. Karena emang taraf gue skarang masih rendah, masih yang penting kliatan klo pasang sound. Blum sampe detil banget tentang yang satu ini. Gue skarang pake sub nya satu 12″ dengan power 2, speaker2 nya gue pake mid-bass. Cukup nendang lah klo menurut gue. Skarang gue lagi coba bikin semua jadi lebih detil, mulai dari sub yang cocok dengan power nya, speaker tengah yang gak kebanting suaranya. Agak mulai bingung harus apa yang jadi acuan pertama, apakah sub nya dulu baru setelah itu cari power yang cocok. Dan box apa yg cocok apa sealed apa ported, bagaimana ngitung kubikasi nya, dsb. Ketemu sih link nya untuk cari itungan volume untuk bikin box, www.the12volt.com. Tapi masih belum bisa gunain itu secara maksimal. Buat yang baca blog ini dan kebetulan hobi nya sama, pliiss comment ya. Bagi ilmu nya ya. . . Dan yang hobinya sama tapi baru mau mulai tau lebih dalem, lanjutkanlah. . .karena emang ini cukup positif , dan jangan takut buat mulai. Ada pepatah kuno bilang, Sejauh apapun perjalanan, dimulai dari satu langkah. Jadi mulailah melangkah dari sekarang, siapa tau dari hobi malah bisa menghasilkan.

d147ba629e9c070e

 

482ce5996ad48d78

Posted in Everything | 1 Comment

Whole Problem Case

Cross-Cultural Management as Facilitation

 

Latar belakang perusahaan

 

Tahun 1989, Novo Nordisk berdiri sebagai hasil merger antara dua perusahaan. Nordisk Gentofte dan Novo Industry. Kedua perusahaan tersebut berdiri pada tahun 1920. Dimana sebelum kedua perusahaan tersebut merger, mereka memimpin penyaluran dunia untuk hormon insulin. Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan besar di Denmark, yang memiliki wilayah operasi pada 68 negara, 7 diantaranya memiliki fasilitas pabrikasi.

 

Seperti hampir kebanyakan kasus merger, terjadi tegangan dan pergeseran yang sebelumnya mereka adalah dua perusahaan yang saling bersaing. Pada awal sampai pertengahan tahun 1990, perusahaan mulai mengalami penurunan. Tidak hanya pada negara lain, bahkan penurunan juga terjadi di Denmark sebagai pusat dari perusahaan. Kurangnya komunikasi vertikal dan horisontal menjadi alasan utama dari penurunan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan konsep dari cara manajemen Novo Nordisk dan lainnya untuk menganjurkan better practice sepanjang perusahaan pada semua level, dan semua lokasi. Namun hal yang baik tersebut mengalami kendala pada proses penyampaiannya.

 

Konsep facilitator

 

Inisiatif untuk meningkatkan komunikasi dan nilai sepanjang perusahaan di seluruh dunia dihasilkan  dengan kreasi spesial pada 14 tugas kekuatan, yang disebut sebagai Facilitators atau pemberi kemudahan. Facilitator lebih sebagai penyampai atau pemberi kemudahan bukan sebagai penegak. Sebelumnya, perusahaan menguji calon – calon facilitator dan mempelajari aksi para facilitator. Facilitator perlu mengetahui tentang cara manajemen Novo Nordisk dan hal lainnya, karena tugas dari facilitator adalah untuk meningkatkan mufakat dan menguatkan kepatuhan pada cara tersebut. Karena menurut Novo Nordisk, kata patuh mengandung makna yang kuat dan tidak boleh dipisahkan dari Novo Nordisk. Karena Novo Nordisk adalah perusahaan yang mengasilkan biotechnology yang menghasilkan produk pelayanan kesehatan bagi manusia yang tidak boleh ada perkara seperti malpraktek yang dapat menyebabkan kerugian bagi semua pihak.

 

Konsep facilitator dikumpulkan oleh tiga peneliti dari Sekolah Bisnis di Copenhagen pada tahun 1996. Dengan persetujuan dari manajemen perusahaan, Henrik Gurtler mengirim email kepada 1.000 manajer umum dan senior sepanjang perusahaan. Perusahaan memerlukan 14 orang – orang yang mampu menjelajahi dunia dan masuk ke unit lokal di banyak negara berbeda. Bagi perusahaan pusat, posisi ini dideskripsikan sebagai posisi yang berbeda dari sifat – sifat yang alami.

 

Semua telah menjadi bagian dari perusahaan, selalu terulang dilemma antara tekad atau sesuatu yang baku antara HQ perusahaan atau bisnis unit pada DK dan dan tekad atau sesuatu yang baku bagi kebutuhan unit lokal pada masing – masing unit yang terpisah. Satu cara atau lebih, sistem, prosedur, instruksi kerja dan record harus benar sesuai tempat dan kontrol pada masing – masing unit lokal agar dapat berjalan pada bisinis lokal. Yang menjadi pertanyaan, standarisasi pendekatan untuk mengaplikasikan pada level local, level regional, level unit bisnis atau level perusahaan. Dan dalam dimensi yang lain, standarisasi pendekatan diselesaikan dari Denmark. Denmark segera menemukan pada keadaan dimana berbagai sistem, prosedur dan telah menindak lanjuti mekanisme, atau dalam proses telah menjadi standarisasi bagi HQ dan DK. Menindak lanjuti untuk fokus yang lebih besar apakah sistem dan prosedur itu terpakai. Konsekuensinya dalam melakukan manuver dan mengaplikasikan kebijakan tersebut adalah memilih kiat atau tools local dan juga peningkatan yang signifikan dalam kenaikan pengarahan aliran data dan kontol pusat walaupun belum terlihat peningkatan diperkuatnya aliran data dan respon atau tanggapan dalam cara lain.

 

Untuk selanjutnya, dimana facilitator yang sudah mengetahui tentang perusahaan yang telah ditugaskan untuk membantu manajemen perusahaan dalam mentransfer nilai assosiasi cara manajemen Novo Nodisk bagi semua unit di seluruh dunia. Tetapi Gurtler menambahkan bahwa mereka harus dapat lebih daripada itu. Gurtler menyadari bahwa jika semua unit mematuhi filosofi, ajaran perusahaan dan dengan teliti berjalan pada goals dan nilai, itu akan membuat komunikasi antar unit menjadi lebih baik dan cepat. Dan hal tersebut dapat mengurangi halangan untuk dapat saling berbagi pengetahuan dan dapat membangkitkan inovasi dan kerja sama antar unit.

 

Facilitator dalam menjalankan tugasnya, harus memperlihatkan :

  • Pemahaman dasar bagaimana operasi Novo Nordisk, meliputi : struktur, logistik, nilai, jaringan lokal, pasar, dan pelanggan
  • Menganalisa fakta, pendekatan yang sistematis dan keterampilan yang baik dalam perencanaan
  • Membuktikan kapasitas untuk bekerja dengan efektif dan kesepakatan dengan orang – orang yang berbeda latar belakang kebudayaan
  • Komunikasi dan kemampuan mendengar yang baik
  • Kemampuan mengidentifikasi masalah dengan baik dan menunjukkan fleksibilitas memisahkan masalah
  • Kemampuan presentasi yang baik
  • Kemampuan bekerja mandiri dalam periode waktu yang lama
  • Kemampuan dan kemauan untuk bergerak, dimana pekerjaan mungkin harus bepergian lebih dari 100 hari dalam setahun

 

Operasi objektif dan umum dari facilitation

 

Pada sesi ini, akan diuraikan secara singkat objektif dan operasi dari garis besar facilitation. Yang diuji pada tiga fase : pre-facilitation, facilitation yang sesuai, penempatan facilitation.

 

Pre-facilitation proses

 

Kunci untuk facilitation terletak pada persiapan dibandingkan dengan faktor lainnya. Ringkasan tentang keterangan latar belakang pada suatu unit harus dapat dengan mudah dikumpulkan dan diasimilasi kan oleh facilitator. Dokumen tentang materi meliputi hal berikut :

  • Diagram organisasi
  • Daftar karyawan
  • Hasil terakhir dari audit organisasi
  • Hasil survey
  • Misi unit dan atau goal unit
  • Rencana bisnis unit

 

Pada fase ini, facilitator menganalisa tentang unit bisnis lokal dengan intelegensi dan penuh denga kebijaksanaan. Dan akhir pada fase ini, tidak boleh terlewatkan suatu hal yang paling rumit dalam fase pre-facilitation, yaitu persetujuan antara facilitator dan manager unit dalam cara manajemen Novo Nordisk. Yang dimana mereka minim akan pengamatan, pengertian, dan kepatuhan diantaranya.

 

Facilitation yang sesuai

 

Pada terminologi facilitation, aspek pertama menyebutnya pengumpulan fakta, namun hal tersebut tidak pasti tepat, tapi facilitation telah mengumpulkan beberapa fakta tentang unit lokal. Aspek kedua, ialah membacakan dokumentasi unit. Facilitator meminta kepada unit yang tepat untuk memberikan informasi pada deskripsi pekerjaan, membangun rencana, evaluasi kinerja, rencana bisnis, dan waktu untuk rapat. Aspek ketiga, facilitation fokus terhadap identifikasi better practice. Facilitator telah mengidentifikasi better practice yang sesuai. Aspek yang keempat, mendeskripsikan facilitation sebagai penutup dan laporan. Facilitator mempersiapkan laporan daftar aksi yang telah didiskusikan dengan manager unit dan anggota dari staff yang terkait. Dan laporan akhirnya, menggabungkan point – point tentang aksi yang telah disepakati. Dan hasil laporan akan sampai pada Henrik Gurtler sebagai penanggung jawab facilitation.

 

Penempatan facilitation

 

Satu dari facilitator akan diangkat untuk bertanggung jawab untuk menindaklanjuti dari facilitation.

 

Facilitation : suatu ulasan sementara

 

Konsep facilitation adalah sebuah percobaan. Seperti halnya melakukan perjudian atau suatu investasi pada sebuah manusia. Banyak yang meragukan tentang facilitation, bahkan tidak berpihak kepadanya. Namun pada facilitator dapat membuktikannya dalam tahun pertamanya. Facilitator dianggap berperan banyak dan bermanfaat.

 

Facilitation sebagai manajemen antar budaya

 

Facilitator mendasari tugas multikultural yang sangat kompleks. Ditantang untuk dapat memastikan bahwa semua unit pada Novo Nordisk mematuhi filosofi bisnis, ajaran manajemen, membuat better practice , identifikasi semua unit, dan siap sepanjang perusahaan. Dari perspektif manajemen multikultural, terdapat dua dimensi yang menjadi kunci :

  • Dirinya sendiri sebagai multikultural atau multilingual
  • Interaksi dengan unit adalah kemudahan

 

Facilitation as knowledge management

 

Pemikiran tentang konsep untuk facilitator adalah kebutuhan untuk membuat sepanjang perusahaan agar menjadi lebih baik. Walaupun perusahaan sudah mengaplikasikan teknologi intranet sebagai media komunikasi, namun para individu lebih menyukai interaksi dengan sesama manusia. Facilitator memperoleh knowledge dengan empat cara : identifikasi, mengamati, verifikasi, dan dokumentasi. Facilitator telah dapat mencangkok knowledge – knowledge dari satu lokasi dan mengirimnya sebagai pengetahuan ke lokasi lain. Dan facilitator juga menjadi bagian dari knowledge tersebut, diantaranya knowledge tersebut adalah :

  • Menyerap dan mendokumentasikan knowledge baru tentang perusahaan dari sudut pandang unit – unit yang satu dengan yang lainnya saling berbeda yang berinteraksi pada tiga taraf budaya : nasional, perusahaan, dan professional
  • Menyesuaikan perilaku dan gaya komunikasi agar sesuai dengan kondisi local
  • Berbagi apa dan bagaimana kepada facilitator lainnya
  • Mendahulukan pengetahuan
  • Konversi knowledge ke berbagai format sehingga berguna bagi perusahaan
  • Mengkombinasikan knowledge
  • Melakukan multikultural melalui aplikasi dari intelegensi dan kebijakan
Posted in Novo Nordisk ( Knowledge Management ) | Leave a comment

Latar Belakang Dan Visi21

Latar Belakang Novo Nordisk

 

Novo Nordisk didirikan pada tahun 1989, sebagai hasil merger dua perusahaan farmasi Denmark, Nordisk Gentofte dan Novo Industri. Sebelum merger, kedua perusahaan tersebut saling berkompetisi satu sama lain. Kedua perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1920. Kedua perusahaan tersebut menjadi pemimpin dunia dalam penyaluran hormon insulin sebelum mereka merger. Novo Nordisk bermarkas di bagian utara Copenhagen, salah satu perusahaan bioteknologi terbesar di dunia, dan menjadi kedua terbesar di dunia yang memproduksi insulin, yaitu digunakan untuk pengobatan diabetes, dan produsen terbesar di dunia industri enzim, yang digunakan oleh industri makanan. Produk farmasi lainnya meliputi persiapan hormon untuk penggunaan gineocologis, pertumbuhan hormon manusia dan persiapan untuk perawatan dari hemofilia. Untuk strategi yang dapat diperkirakan oleh Novo Nordisk di masa yang akan datang ialah dengan mengarahkan Novo Nordisk menjadi pemimpin suplier insulin dan sistem pengiriman insulin. Bisnis farmasi ini melebihi 75 % total sales Novo Nordisk. Perputaran perusahaan berada pada jumlah 20 juta Krone Denmark, yaitu $1,8 juta.

 

Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan terbesar di Denmark. Namun bagi standar dunia, Novo Nordisk terukur kecil untuk sebuah perusahaan farmasi. Dengan 15.000 tenaga kerja di dunia yang mewakili keseluruhan operasi pada 68 negara, yang memiliki fasilitas pabrikasi pada 7 negara. Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan Denmark yang paling dikenal di internasional. Tidak dilebih – lebihkan apabila menjabarkan Novo Nordisk adalah organisasi yang mendasarkan pengetahuan. Melihat tidak kurang dari 3.000 staf nya sibuk dengan R & D dan sekitar 16 % pendapatan penjualannya diinvestasikan ke dalam aktivitas ini. Kata bijak dari perusahaan Novo Nordisk adalah ” Pengetahuan adalah bisnis kami. ”

 

Berada pada bisnis farmasi, Novo Nordisk adalah perusahaan yang sadar akan etika. Di Denmark, Novo Nordisk dirasa cukup solid, jika sedikit banyak pemikiran tradisional pada perusahaan, namun akan salah apabila menghargai ini sebagai konservatif. Pimpinan eksekutif, Mads Ovlisen adalah salah satu pimpinan yang dihormati di Denmark, dan perusahaan tidak mempermasalahkan dalam menarik pelajar – pelajar terbaik dalam berbagai ilmu, bisnis dan disiplin ilmu lainnya. Sebagai pemain kecil pada industri, hampir terkenal karena nama buruk dalam melakukan merger besar – besaran, dan merger tidak berhasil. Setelah fokus dan tahu bahwa ini harus cepat dan inovatif dalam membantah ketidak disukainya sebagai salah satu korporasi besar. Budaya dari perusahaan Novo Nordisk ialah berlandaskan pada nilai sistem yang kuat, yang berharap dikenal sebagai budaya yang berlandaskan pengetahuan, etika dan berpandangan internasional. Perusahaan sadar untuk berhati – hati pada manajemen yang tidak taat, yaitu sebagai gairah jangka pendek yang dapat membelokkan staf kunci dari tugas utama seperti menjaga hubungan baik dengan perbedaan jaringan internasional dari pemegang kepentingan.

 

Seperti halnya dari semua kasus merger, kedua perusahaan yang datang dari persaingan menciptakan tegangan dan pergeseran, managemen memberikan dukungan kepada karyawan tanpa melihat afliasi mereka sebelumnya. Pada awal hingga pertengahan tahun 1990, perusahaan mulai perlahan mengalami penurunan. Ini datang dari kekuatan level atas dan para pengurus. Dan konsekuensi yang dihadapi, manajemen perusahaan merasa tidak dapat menyentuh para pekerja bahkan di Denmark, dan tidak dapat mengenali para pekerja di negara lain. Hal ini mendorong beberapa inisiatif untuk meredam rasa kurangnya komunikasi antara komunikasi vertikal dan horizontal. Sebagai contoh, mengembangkan konsep cara dari manajemen dan cara ideal lainnya untuk menganjurkan pelatihan yang lebih baik sepanjang perusahaan pada setiap level dan pada setiap lokasi. Dan satu inisiatif , berfokus pada identifikasi apa yang dibutuhkan untuk membuat cabang internasional merasa lebih dilibatkan dan bernilai diantara perusahaan, ini adalah pokok dari studi kasus ini.

 

Visi 21 dan Cara Manajemen Novo Nordisk

 

Dengan mergernya perusahaan pada tahun 1989, mengharuskan untuk pembentukan sebuah platform strategis bagi perusahaan yang baru. Pada tahun 1990, terbentuklah sebuah visi 21. Yaitu sebagai pernyataan visi dan misi pemikiran bisnis Novo Nordisk. Seperti halnya sebuah kode etis bagi seluruh manager dan para pekerja tanpa melihat status dan lokasi. Yang diringkas dalam 3 unsur : Penggunaan kami, Misi kami, dan Cara kami.

 

– Penggunaan Kami :

 

Bisnis kami adalah menemukan dan memasarkan produk yang memuaskan akan kebutuhan. Meningkatkan cara hidup dan bekerja orang – orang. Kami menemukan cara yang baik dalam memerangi penyakit dan menyediakan solusi biologi menjadi masalah industri.

 

– Misi Kami :

 

  • Menjadi yang terbaik pada bisnis kami
  • Tumbuh sebagai perusahaan independen, membuat penting semua bisnis, orang,  dan kebijakan kami sendiri
  • Melakukan inovasi pada semua aktivitas dan agresif dalam membangun posisi leader pada bisnis kami
  • Membuat Novo Nordisk disukai oleh mitra nya
  • Menyampaikan kinerja keuangan yang kompetitif

 

– Cara Kami :

 

  • Tanggung jawab : semua aktivitas harus memiliki tanggung jawab untuk mendukung tujuan kami.
  • Ambisi : menempatkan standar yang paling tinggi pada semua aktivitas yang dilakukan untuk mendukung tujuan kami.
  • Terbuka dan jujur : semua proses bisnis kami harus terbuka dan jujur.
  • Dekat dengan pelanggan : mendekatkan diri dengan kesederhanaan kepada pelanggan.
  • Siap untuk berubah : kami harus meramalkan perubahan dan mempergunakan perubahan bagi keuntungan kami.
  • Responsif terhadap sekitar :  kontribusi sosial
Posted in Novo Nordisk ( Knowledge Management ) | 1 Comment