Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru

Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Yuyun Manopol

Djoni Prananto, pebasket nasional di era 1960-1970-an, merintis kerajaan bisnis keluarganya dengan mendirikan usaha angkutan truk di bawah bimbingan pamannya, Liem Sioe Liong. Kini, di bawah komando putra sulungnya, Beni Prananto, keluarga ini beralih ke lahan bisnis yang lebih menantang dan wah, yakni migas.

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Banyak pihak yang terperangah. Apalagi rangkaian akuisisi itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengambil alih Sabre Systems International Pte. Ltd. (berbasis di Singapura) dan PT Pulau Kencana Raya (lokal), MiRa mengucurkan dana Rp 400 miliar. Yang lebih mengejutkan, ketika perusahaan yang pada 2006 tercatat beraset Rp 86 miliar ini mampu mengeluarkan dana hingga Rp 5,15 triliun (80,57% kepemilikan saham) untuk akuisisi Apexindo (80,57% saham). Tapi, tutup-buka, kecil-kecil saja,” ujar Beni Prananto mengenai sang kakek. Adapun nenek Beni memiliki bisnis transportasi dengan lebih dari 100 unit becak di Kota Rokok ini. Bersama Om Liem, Djoni juga memulai babak baru hidupnya sebagai pebisnis. Awalnya Djoni ikut berdagang kopi mentah (sebagai wholesaler) asal Lampung yang dipasok untuk pabrik-pabrik di Jawa. ”Kalau gak salah sampai ekspor,” ujar Beni yang menyandang gelar Bachelor of Commerce dari Concordia University, Kanada. Selain itu, Djoni juga pernah menjadi importir sepeda motor Lambreta dari Italia. ”Setiap bulan beliau berhasil menjual 500 unit sepeda motor. Di zaman itu angka penjualan tersebut termasuk besar,” tambah pria kelahiran Kudus 3 Januari 1959 ini. Fokusnya sebagai oil business support. Pelanggannya adalah Conoco, Huffco, Total Indonesia, Arco, dan Union Oil. Bahkan, 80% kapal milik TMS melayani keperluan Pertamina yang berpangkalan di Plaju. “Pertama kali kami memiliki 6 kapal, yakni jenis tongkang dan tunda. Ini jenis kapal yang paling murah dan bisa ditinggal,” kata Beni sambil menyebutkan saat itu harga per unitnya sekitar Rp 600 juta, sedangkan sekarang Rp 10 miliar. Pada 1998 – persis sebelum efek krismon mendera – total armada laut TMS mencapai 36 unit (masih terdiri dari kapal tongkang dan tunda). Di sisi lain, waktu itu bisnis ini hanya dikuasai segelintir pemain besar. Ketika akan direalisasi, lagi-lagi Beni yang ditunjuk oleh kongsi ini. Alasannya, hanya Djoni yang memiliki anak yang sudah cukup besar dan dinilai mampu. ”Waktu saya ditawari, saya minta waktu 6 bulan untuk mempelajari pasar, teknik dan know-how-nya,” ujarnya. Toh akhirnya perusahaan itu pun berdiri pada 1990, dengan nama PT Fatrapolindo yang berlokasi di Curug Tangerang. Sejak itu, perusahaan yang listing pada 1997 ini pun membuka diri untuk bermitra bisnis dengan perusahaan lain. Upaya masuk ke pasar modal tak hanya dilakukan Beni terhadap MiRa, tapi juga Fatrapolindo. Tahun 2004 ia berhasil mengantar Fatrapolindo go public. Tak lama setelahnya, datang investor baru dari Malaysia, Titan Chemical, yang kemudian menguasai hingga 95% kepemilikan saham. Kehadiran Titan membuat kepemilikan saham keluarga Prananto di perusahaan ini terdilusi hingga tinggal 3% (dari semula 25%). “Sekarang kami hanya memiliki tiga unit. Dua kapal tunda (disewakan) dan satu kapal tanker.” Alasannya, perusahaannya tak sanggup bersaing dengan perusahaan asing. ”Bisnis kapal itu luar biasa kompleks.” Namun, tak disangka-sangka pada 2007 ia mendapat kesempatan mengakuisisi perusahaan di sektor ini. Prosesnya terbilang cepat. Sejak bertemu Tito Sulistio (pemilik Sabre Systems International dan Pulau Kencana Raya) di pesawat hingga akhirnya deal hanya butuh dua minggu. Meski sebagian pihak menilai transaksi ini terkesan kontroversial, akuisisi itu berjalan lancar. ”Seluruh dunia bersatu mendukung akuisisi itu,” ujarnya mengklaim.Adapun pemegang yang lain di MiRa adalah Blue Coral Capital Ltd. 19,18%, Heronswood Assets Management Ltd. 5,24%, dan sisanya publik. Yang pasti sejak mengakuisisi perusahaan migas, MiRa tak bisa dikategorikan lagi sebagai perusahaan trucking karena lebih dari 80% kontribusi pendapatan berasal dari migas. Tak heran nama Mitra Rajasa saat ini secara resmi telah berubah menjadi PT Mitra International Resources.Lalu apa rencana perusahaan ini ke depan? ”Ekspansi kemungkinan masih akan ada. Dalam kondisi krisis seperti saat ini kami harus memanfaatkan: ini saatnya menanam karena (harga aset) termurah,” tuturnya. Bidang ekspansinya? ”Kami akan fokus di energi. Masih dalam konteks energi contohnya pertambangan batu bara, ladang minyak, penyulingan, gas. Pokoknya masih banyak,” kata Beni bersemangat. Hal ini diamini Tito. ”Kami ingin menjadi perusahaan lokal yang resource-based. Kami punya services seperti rig, drilling, trucking, oil field, transportasi LNG, dan di tengahnya kami punya energi dan resource-based,” ujar mantan orang kepercayaan Titiek Hediati ini. Ia sendiri tak berpikir mengincar pasar di luar Indonesia. “Indonesia saja pasarnya masih gede dan kebutuhannya masih banyak di sini,” Preskom MiRa ini menambahkan. Dalam mengelola aset keluarga Prananto, Beni tetap ditugasi menggawangi MiRa. Di sini ia dibantu adiknya Roni Prananto yang berposisi sebagai komisaris. Adapun, adiknya, Lusi Prananto, diberi tanggung jawab mengurus restoran Tony Roma’s dan California Pizza Kitchen. Adik lelaki Beni lainnya, Toni Prananto, menjadi Dirut PT Sumber Kencana, distributor Indocement. Adik perempuannya yang lain, Lilia Prananto, memiliki bisnis sendiri, yakni mengelola restoran waralaba asal Amerika Serikat, Po 2000. Dan, si bungsu, Livia Prananto (22 tahun), baru saja menyelesaikan kuliah, dan tampaknya siap diterjunkan untuk membesarkan pundi-pundi kekayaan keluarga ini.

Rupanya agresivitas MiRa tak berhenti di situ. Februari 2009, melalui anak perusahaannya, Sabre Offshore Marine Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura melakukan pembelian fasilitas floating production storage and offloading (FPSO). Total nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 25 Juta.

Yang teranyar, MiRa mengakuisisi 100% saham PT Realita Jaya Mandiri (RJM) dan PT Masindo Artha Resources (MAR) pada Kamis 19 Maret 2009, senilai US$ 40 juta. Perlu diketahui, MAR adalah pemegang kuasa pertambangan untuk lahan seluas 5.600 ha dan 4.400 ha di Musi Banyuasin. Sementara RJM adalah perusahaan pengelola usaha pertambangan batu bara seluas 1.598 ha di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Cadangan batu bara di tiga lahan ini diperkirakan lebih dari 100 juta ton.

Di balik perusahaan yang agresif ini ada nama keluarga Prananto yang menguasai mayoritas kepemilikan. Membicarakan keluarga ini tak bisa dilepaskan dari peran Djoni Prananto, yang mendirikan MiRa pada 1979. Djoni sendiri ayah dari Beni Prananto, Dirut MiRa saat ini.

Dulu, Djoni adalah anak seorang pengusaha kaya di Kudus, kota di mana orang tuanya berasal dan merintis bisnis keluarga. Ayah Djoni bernama Lim Kim Tjay yang membangun usaha keluarga sejak tahun 1920-an. ”Waktu itu beliau memiliki pabrik kopi, sabun, dan membuat sepatu untuk tentara.

Putra sulung Djoni ini mengungkapkan, ayahnya saat itu berkeinginan untuk mandiri. Djoni kemudian pindah dan melanjutkan SMA-nya di Jakarta pada 1960-an. Di kota metropolitan ini ia ikut dengan pamannya, Liem Sioe Liong, pengusaha yang besar sebagai konglomerat berkat andil Pak Harto. Menurut Beni, di kota besar ini ayahnya sempat menorehkan prestasi sebagai pemain basket nasional di era 1960-1970-an.

 

Dari hubungan persaudaraan lalu berbisnis membuat hubungan keduanya semakin erat. Om Liem pun makin percaya dan menugasi Djoni mengurus angkutan semen untuk kebutuhan Indocement. Dari sini lahirlah MiRa pada 1979. ”Awalnya kami hanya memiliki 20 truk,” ujar Beni sambil mengungkapkan rute saat itu Citeureup-Jawa Barat. Satu tahun kemudian jumlah armada MiRa meningkat menjadi 100 unit. Om Liem sama sekali tak memiliki saham di MiRa. ”Terus terang waktu itu paman ayah saya (Om Liem – Red.) tak membantu (dana). Istilahnya beliau di sini diberi pekerjaan,” tuturnya. Pendanaan 90% berasal dari bank, sedangkan sisanya 10% dari kantong pendiri.

Djoni membangun MiRa memang tak sendiri, tapi bersama dua mitranya, Mulyanto Halim dan Sudwikatmono. Pembagian kepemilikan sahamnya: 60% Djoni, 25% Mulyanto dan 15% Sudwikatmono. MiRa ternyata maju pesat. ”Hampir tiap tahun kami tambah 100 armada,” cerita Beni. Ketika Beni masuk ke jajaran manajemen MiRa pada 1982, total truk mencapai 200 unit.

Armada terus bertambah. Pada 1996, jumlah truk yang dimiliki MiRa mencapai 1.200 unit. Waktu itu komando operasional MiRa sudah berada di tangan Beni. Armada MiRa ini terdiri dari truk Hino, Mercedes-Benz dan Nissan. Komposisinya, 27% berjenis portal, 40% tronton, 30% engkel, dan yang terbesar (trailer) 3%. Kala itu, satu trailer bernilai sekitar Rp 300 juta (sebagai perbandingan, saat ini harga per unit trailer sekitar Rp 1,2 miliar – Red.).

Setelah cukup lama menjalankan usaha di bidang trucking, Djoni mulai percaya diri untuk memulai bisnis lain, walau masih di bidang transportasi. Bersama Sudwikatmono dan Anthony Salim, Djoni merintis usaha transportasi laut dengan mendirikan PT Tasik Madu Shipping (TMS) pada 1982.

Meski mengaku fokus mengembangkan bisnis transportasi, keluarga Prananto berusaha merambah bidang lain. Misalnya, menggarap bisnis plastik film yang dari segi keahlian sebenarnya tak dikuasai. Keterlibatan keluarga Prananto di bisnis ini karena teman Djoni – Budi Harto Angsono (kini almarhum), Dirut PT Aneka Sakti Bakti (Asaba) – mengajak berkongsi. Budi sendiri bermitra dengan Alex Budiman yang memiliki lisensi untuk menjalankan pabrik plastik ini.

Djoni tertarik terjun ke bisnis ini karena saat itu plastik film digunakan sekitar 70% pabrikan di Indonesia, antara lain pabrikan rokok (untuk bungkus rokok yang berwarna bening dan sangat tipis), kertas kado, album foto, sabun, laminasi, dan mi kering.

 

Produksi awalnya sekitar 36 ribu ton setahun. Sekitar 30% dari total produksi diekspor ke Jepang, Hong Kong dan Malaysia. Pengguna produk mereka adalah pabrik makanan (60%), pabrik rokok (10%), dan sisanya untuk industri lainnya.

Bersamaan dengan situasi ekonomi tahun 1990-1995 yang bagus, kondisi MiRa pun bergerak positif. Diungkapkan Beni, pada periode itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6%. ”Bahkan Jakarta masuk dalam kategori kota dengan pertumbuhan gedung tercepat di dunia,” ujar Beni, yang melihat banyak sekali peluang usaha yang bisa dilakukan. Salah satunya transportasi manusia. Maka, pada 1995 MiRa terjun ke bisnis transportasi antarkota antarprovinsi. MiRa meluncurkan bus dengan merek Continental dengan rute Jakarta-Denpasar. ”Saat itu kami menginvestasikan dana hingga puluhan miliar rupiah atau sebanyak 199 unit bus.”

Tak hanya sampai di situ. Beni menyusun rencana mencatatkan MiRa di pasar modal tahun 1996. ”Untuk itu, MiRa harus profesional dan tak bisa hanya mengandalkan pada satu pemberi kerja yaitu Indocement. Maka, kami harus melakukan diversifikasi,” tutur Beni sambil mengungkapkan pada 1996 MiRa menambah armadanya sebanyak 400 unit tronton yang nilai per unitnya Rp 150 juta.

Pada 2006 sebelum mengakuisisi tiga perusahaan migas tadi, MiRa tak hanya melayani angkutan semen milik PT Indocement Tunggal Prakarsa, tapi juga PT Holcim Indonesia dan PT Semen Gresik. Usaha di bidang angkutan semen ini memberi kontribusi hingga 90% bagi pendapatan MiRa saat itu.

Sisanya 10%, berasal dari usaha MiRa melayani angkutan jasa nonsemen seperti industri keramik, pipa, bahan makanan, minyak goreng, tapioka, sepatu dan pasir. Pelanggannya antara lain, PT Petrokimia Gresik, PT Indofood Sukses Makmur, PT Inbisco Niagatama Semesta, dan PT Fatrapolindo Nusa Industri.

 

Kenyataannya, bisnis Fatrapolindo memang tumbuh pesat. Kini total produksi Fatrapolindo mencapai 400 ribu ton atau senilai Rp 2,4 triliun. Namun baru-baru ini setelah perkembangan MiRa yang begitu pesat dan dramatis, ”memaksa” Beni melepaskan posisinya di perusahaan ini. ”Saya ingin berkonsentrasi di MiRa,” ujarnya.

Pemain di industri OPP film memang relatif tidak banyak. Saat ini hanya ada lima pabrik yang menjadi pemain utama, yakni: Arga Karya (pemain terbesar); Tria Santosa (Surabaya); PT Fatrapolindo; perusahaan pecahan Arga Karya; dan anak usaha Grup Salim.

Kehadiran sejumlah perusahaan baru dalam grup usaha MiRa sempat melengkapi kejayaan MiRa pada masa itu. Dan jika diperhatikan tahun dan perkongsian yang terjadi, bisa dikatakan keberadaan grup usaha ini bersamaan dengan zaman keemasan konglomerat era Presiden Soeharto. Kejayaan itu ambruk setelah datangnya badai krismon pada 1997/1998. MiRa pun tak lepas dari badai ini.

Korban pertama yang hancur adalah TMS. Dijelaskan Beni, meski awalnya berjalan lancar, belakangan kinerja perusahaan ini terus tergerus dan hampir mencapai titik nadir.

Situasi krismon juga memengaruhi periuk utama MiRa. Tahun 1998 manajemen Indocement diambil alih oleh Heidelbergcement Group dari Jerman. Akibatnya bisa ditebak, MiRa tidak lagi menjadi perusahaan trucking satu-satunya bagi perusahaan semen itu. ”Namun hingga saat ini pendapatan dari Indocement masih dominan atau 55%-60% (dari omset trucking – Red.),” ujarnya sambil menjelaskan Semen Gresik sendiri memberi kontribusi hingga 25% bagi omset di sektor trucking.

Korban berikutnya, armada Continental. Tahun 2000 Continental diputuskan tak beroperasi lagi. ”Sejak krismon harga suku cadang mahal. Juga, saat itu marak penerbangan murah (low cost carrier) dan tingginya penjualan sepeda motor,” paparnya. Alhasil harga karcis bus hampir sama dengan harga tiket pesawat, sehingga banyak penumpang yang memilih naik pesawat ketimbang bus yang waktu tempuhnya lebih lama. Begitu pula dengan sepeda motor. Makin banyak masyarakat yang beralih ke sepeda motor.

Kondisi krismon ini juga menamatkan riwayat bisnis agro milik keluarga Prananto berupa kebun kopi seluas 500 ha yang dibuka pada 1992 di Desa Wonosalam Jombang, Jawa Timur. Beni menceritakan, pada 1998, kebun ini habis dijarah masyarakat. ”Sejak itu kami tak pernah produksi lagi.” Beni menceritakan, saat ini ia sedang menjajaki mengubah lahan itu menjadi tempat wisata agrobisnis, serta wisata miniatur Indonesia dan dunia.

Setelah 10 tahun melalui masa sulit, kini MiRa bangkit kembali. Beni bisa dikatakan sebagai orang yang paling berperan penting dalam tiap babak perjalanan bisnis keluarganya. Mulai dari masa awal berdirinya, kejayaannya, saat sulit, hingga kebangkitannya kembali. Dan masuknya MiRa ke industri migas menjadi momentum kebangkitan. ”Kini perkembangan MiRa superpesat, karena kami sekarang memiliki aset Rp 10 triliun,” ujar Beni bangga. ”Terus terang saya gak mimpi apa-apa untuk MiRa,” katanya lagi sambil tertawa.

Menurut Beni, memiliki perusahaan yang bergelut di sektor migas memang keinginannya sejak 7 tahun yang lalu. Dorongan ini timbul karena MiRa saat itu tak hanya mengangkut semen tapi juga peralatan penunjang industri migas. Dari sini, ia makin tahu banyak tentang migas. Ia mengaku, sebenarnya ia sudah berusaha mencari perusahaan migas yang bisa dibeli.

Alasan Beni terjun ke bisnis migas karena melihat prospeknya bagus. Ia melihat ketergantungan manusia pada migas cukup besar. Ia tak menampik energi alternatif yang kini banyak ditawarkan, tapi ia melihat hal itu belum akan digunakan massal dan masih banyak kendala.

Menurut Beni, perkenalannya dengan Tito sudah cukup lama. “Kami sama-sama tim sukses Pak Wiranto ketika konvensi capres Golkar,” ujar Beni yang kini tercatat sebagai pendiri dan pengurus inti Partai Hanura yang dikomandani Wiranto.

Di MiRa, kepemilikan keluarga Prananto sudah tak seperti dulu lagi. Beni menuturkan, bila sebelumnya kepemilikan keluarganya di MiRa 57%-60%, sekarang hanya tinggal 13,6%, lewat bendera PT Inti Kencana Pranajati, plus 7,36% lewat PT Mitra Murni Expressindo (yang dibagi tiga: Sudwikatmono memiliki saham 15%, Mulyanto Halim 35% dan Djoni 50%).

 

Untuk bisnis keluarganya, Beni mengaku tak punya rencana dan impian yang muluk.

Pembahasan Bisnis Keluarga Prananto: Dari Raja Truk Jadi Bintang Migas Baru

 

Latar Belakang

 

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Di balik perusahaan yang agresif ini ada nama keluarga Prananto yang menguasai mayoritas kepemilikan. Membicarakan keluarga ini tak bisa dilepaskan dari peran Djoni Prananto, yang mendirikan MiRa pada 1979. Djoni sendiri ayah dari Beni Prananto, Dirut MiRa saat ini.Tapi, tutup-buka, kecil-kecil saja,” ujar Beni Prananto mengenai sang kakek. Adapun nenek Beni memiliki bisnis transportasi dengan lebih dari 100 unit becak di Kota Rokok ini.Bersama Om Liem, Djoni juga memulai babak baru hidupnya sebagai pebisnis. Awalnya Djoni ikut berdagang kopi mentah (sebagai wholesaler) asal Lampung yang dipasok untuk pabrik-pabrik di Jawa. ”Kalau gak salah sampai ekspor,” ujar Beni yang menyandang gelar Bachelor of Commerce dari Concordia University, Kanada. Selain itu, Djoni juga pernah menjadi importir sepeda motor Lambreta dari Italia. ”Setiap bulan beliau berhasil menjual 500 unit sepeda motor. Di zaman itu angka penjualan tersebut termasuk besar,” tambah pria kelahiran Kudus 3 Januari 1959 ini.Fokusnya sebagai oil business support. Pelanggannya adalah Conoco, Huffco, Total Indonesia, Arco, dan Union Oil. Bahkan, 80% kapal milik TMS melayani keperluan Pertamina yang berpangkalan di Plaju. “Pertama kali kami memiliki 6 kapal, yakni jenis tongkang dan tunda. Ini jenis kapal yang paling murah dan bisa ditinggal,” kata Beni sambil menyebutkan saat itu harga per unitnya sekitar Rp 600 juta, sedangkan sekarang Rp 10 miliar. Pada 1998 – persis sebelum efek krismon mendera – total armada laut TMS mencapai 36 unit (masih terdiri dari kapal tongkang dan tunda).Di sisi lain, waktu itu bisnis ini hanya dikuasai segelintir pemain besar.Ketika akan direalisasi, lagi-lagi Beni yang ditunjuk oleh kongsi ini. Alasannya, hanya Djoni yang memiliki anak yang sudah cukup besar dan dinilai mampu. ”Waktu saya ditawari, saya minta waktu 6 bulan untuk mempelajari pasar, teknik dan know-how-nya,” ujarnya. Toh akhirnya perusahaan itu pun berdiri pada 1990, dengan nama PT Fatrapolindo yang berlokasi di Curug Tangerang.Sejak itu, perusahaan yang listing pada 1997 ini pun membuka diri untuk bermitra bisnis dengan perusahaan lain.

Dulu, Djoni adalah anak seorang pengusaha kaya di Kudus, kota di mana orang tuanya berasal dan merintis bisnis keluarga. Ayah Djoni bernama Lim Kim Tjay yang membangun usaha keluarga sejak tahun 1920-an. ”Waktu itu beliau memiliki pabrik kopi, sabun, dan membuat sepatu untuk tentara.

Putra sulung Djoni ini mengungkapkan, ayahnya saat itu berkeinginan untuk mandiri. Djoni kemudian pindah dan melanjutkan SMA-nya di Jakarta pada 1960-an. Di kota metropolitan ini ia ikut dengan pamannya, Liem Sioe Liong, pengusaha yang besar sebagai konglomerat berkat andil Pak Harto. Menurut Beni, di kota besar ini ayahnya sempat menorehkan prestasi sebagai pemain basket nasional di era 1960-1970-an.

 

Dari hubungan persaudaraan lalu berbisnis membuat hubungan keduanya semakin erat. Om Liem pun makin percaya dan menugasi Djoni mengurus angkutan semen untuk kebutuhan Indocement. Dari sini lahirlah MiRa pada 1979. ”Awalnya kami hanya memiliki 20 truk,” ujar Beni sambil mengungkapkan rute saat itu Citeureup-Jawa Barat. Satu tahun kemudian jumlah armada MiRa meningkat menjadi 100 unit. Om Liem sama sekali tak memiliki saham di MiRa. ”Terus terang waktu itu paman ayah saya (Om Liem – Red.) tak membantu (dana). Istilahnya beliau di sini diberi pekerjaan,” tuturnya. Pendanaan 90% berasal dari bank, sedangkan sisanya 10% dari kantong pendiri.

Djoni membangun MiRa memang tak sendiri, tapi bersama dua mitranya, Mulyanto Halim dan Sudwikatmono. Pembagian kepemilikan sahamnya: 60% Djoni, 25% Mulyanto dan 15% Sudwikatmono. MiRa ternyata maju pesat. ”Hampir tiap tahun kami tambah 100 armada,” cerita Beni. Ketika Beni masuk ke jajaran manajemen MiRa pada 1982, total truk mencapai 200 unit.

Armada terus bertambah. Pada 1996, jumlah truk yang dimiliki MiRa mencapai 1.200 unit. Waktu itu komando operasional MiRa sudah berada di tangan Beni. Armada MiRa ini terdiri dari truk Hino, Mercedes-Benz dan Nissan. Komposisinya, 27% berjenis portal, 40% tronton, 30% engkel, dan yang terbesar (trailer) 3%. Kala itu, satu trailer bernilai sekitar Rp 300 juta (sebagai perbandingan, saat ini harga per unit trailer sekitar Rp 1,2 miliar – Red.).

Setelah cukup lama menjalankan usaha di bidang trucking, Djoni mulai percaya diri untuk memulai bisnis lain, walau masih di bidang transportasi. Bersama Sudwikatmono dan Anthony Salim, Djoni merintis usaha transportasi laut dengan mendirikan PT Tasik Madu Shipping (TMS) pada 1982.

Meski mengaku fokus mengembangkan bisnis transportasi, keluarga Prananto berusaha merambah bidang lain. Misalnya, menggarap bisnis plastik film yang dari segi keahlian sebenarnya tak dikuasai. Keterlibatan keluarga Prananto di bisnis ini karena teman Djoni – Budi Harto Angsono (kini almarhum), Dirut PT Aneka Sakti Bakti (Asaba) – mengajak berkongsi. Budi sendiri bermitra dengan Alex Budiman yang memiliki lisensi untuk menjalankan pabrik plastik ini.

Djoni tertarik terjun ke bisnis ini karena saat itu plastik film digunakan sekitar 70% pabrikan di Indonesia, antara lain pabrikan rokok (untuk bungkus rokok yang berwarna bening dan sangat tipis), kertas kado, album foto, sabun, laminasi, dan mi kering.

 

Produksi awalnya sekitar 36 ribu ton setahun. Sekitar 30% dari total produksi diekspor ke Jepang, Hong Kong dan Malaysia. Pengguna produk mereka adalah pabrik makanan (60%), pabrik rokok (10%), dan sisanya untuk industri lainnya.

Bersamaan dengan situasi ekonomi tahun 1990-1995 yang bagus, kondisi MiRa pun bergerak positif. Diungkapkan Beni, pada periode itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6%. ”Bahkan Jakarta masuk dalam kategori kota dengan pertumbuhan gedung tercepat di dunia,” ujar Beni, yang melihat banyak sekali peluang usaha yang bisa dilakukan. Salah satunya transportasi manusia. Maka, pada 1995 MiRa terjun ke bisnis transportasi antarkota antarprovinsi. MiRa meluncurkan bus dengan merek Continental dengan rute Jakarta-Denpasar. ”Saat itu kami menginvestasikan dana hingga puluhan miliar rupiah atau sebanyak 199 unit bus.”

Tak hanya sampai di situ. Beni menyusun rencana mencatatkan MiRa di pasar modal tahun 1996. ”Untuk itu, MiRa harus profesional dan tak bisa hanya mengandalkan pada satu pemberi kerja yaitu Indocement. Maka, kami harus melakukan diversifikasi,” tutur Beni sambil mengungkapkan pada 1996 MiRa menambah armadanya sebanyak 400 unit tronton yang nilai per unitnya Rp 150 juta.

 

Whole Problem Case

 

PT Mitra Rajasa Tbk. (MiRa) boleh dibilang salah satu bintang pasar pembuat berita di pasar modal. Pasalnya, MiRa yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan transportasi mengakuisisi tiga perusahaan di sektor migas hanya dalam dua tahun. Banyak pihak yang terperangah. Apalagi rangkaian akuisisi itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengambil alih Sabre Systems International Pte. Ltd. (berbasis di Singapura) dan PT Pulau Kencana Raya (lokal), MiRa mengucurkan dana Rp 400 miliar. Yang lebih mengejutkan, ketika perusahaan yang pada 2006 tercatat beraset Rp 86 miliar ini mampu mengeluarkan dana hingga Rp 5,15 triliun (80,57% kepemilikan saham) untuk akuisisi Apexindo (80,57% saham).

Rupanya agresivitas MiRa tak berhenti di situ. Februari 2009, melalui anak perusahaannya, Sabre Offshore Marine Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura melakukan pembelian fasilitas floating production storage and offloading (FPSO). Total nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 25 Juta.

Yang teranyar, MiRa mengakuisisi 100% saham PT Realita Jaya Mandiri (RJM) dan PT Masindo Artha Resources (MAR) pada Kamis 19 Maret 2009, senilai US$ 40 juta. Perlu diketahui, MAR adalah pemegang kuasa pertambangan untuk lahan seluas 5.600 ha dan 4.400 ha di Musi Banyuasin. Sementara RJM adalah perusahaan pengelola usaha pertambangan batu bara seluas 1.598 ha di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Cadangan batu bara di tiga lahan ini diperkirakan lebih dari 100 juta ton.

Pada 2006 sebelum mengakuisisi tiga perusahaan migas tadi, MiRa tak hanya melayani angkutan semen milik PT Indocement Tunggal Prakarsa, tapi juga PT Holcim Indonesia dan PT Semen Gresik. Usaha di bidang angkutan semen ini memberi kontribusi hingga 90% bagi pendapatan MiRa saat itu.Kehadiran Titan membuat kepemilikan saham keluarga Prananto di perusahaan ini terdilusi hingga tinggal 3% (dari semula 25%).“Sekarang kami hanya memiliki tiga unit. Dua kapal tunda (disewakan) dan satu kapal tanker.” Alasannya, perusahaannya tak sanggup bersaing dengan perusahaan asing. ”Bisnis kapal itu luar biasa kompleks.”Namun, tak disangka-sangka pada 2007 ia mendapat kesempatan mengakuisisi perusahaan di sektor ini. Prosesnya terbilang cepat. Sejak bertemu Tito Sulistio (pemilik Sabre Systems International dan Pulau Kencana Raya) di pesawat hingga akhirnya deal hanya butuh dua minggu. Meski sebagian pihak menilai transaksi ini terkesan kontroversial, akuisisi itu berjalan lancar. ”Seluruh dunia bersatu mendukung akuisisi itu,” ujarnya mengklaim.Adapun pemegang yang lain di MiRa adalah Blue Coral Capital Ltd. 19,18%, Heronswood Assets Management Ltd. 5,24%, dan sisanya publik. Yang pasti sejak mengakuisisi perusahaan migas, MiRa tak bisa dikategorikan lagi sebagai perusahaan trucking karena lebih dari 80% kontribusi pendapatan berasal dari migas. Tak heran nama Mitra Rajasa saat ini secara resmi telah berubah menjadi PT Mitra International Resources.Lalu apa rencana perusahaan ini ke depan? ”Ekspansi kemungkinan masih akan ada. Dalam kondisi krisis seperti saat ini kami harus memanfaatkan: ini saatnya menanam karena (harga aset) termurah,” tuturnya. Bidang ekspansinya? ”Kami akan fokus di energi. Masih dalam konteks energi contohnya pertambangan batu bara, ladang minyak, penyulingan, gas. Pokoknya masih banyak,” kata Beni bersemangat. Hal ini diamini Tito. ”Kami ingin menjadi perusahaan lokal yang resource-based. Kami punya services seperti rig, drilling, trucking, oil field, transportasi LNG, dan di tengahnya kami punya energi dan resource-based,” ujar mantan orang kepercayaan Titiek Hediati ini. Ia sendiri tak berpikir mengincar pasar di luar Indonesia. “Indonesia saja pasarnya masih gede dan kebutuhannya masih banyak di sini,” Preskom MiRa ini menambahkan.Dalam mengelola aset keluarga Prananto, Beni tetap ditugasi menggawangi MiRa. Di sini ia dibantu adiknya Roni Prananto yang berposisi sebagai komisaris. Adapun, adiknya, Lusi Prananto, diberi tanggung jawab mengurus restoran Tony Roma’s dan California Pizza Kitchen. Adik lelaki Beni lainnya, Toni Prananto, menjadi Dirut PT Sumber Kencana, distributor Indocement.

Sisanya 10%, berasal dari usaha MiRa melayani angkutan jasa nonsemen seperti industri keramik, pipa, bahan makanan, minyak goreng, tapioka, sepatu dan pasir. Pelanggannya antara lain, PT Petrokimia Gresik, PT Indofood Sukses Makmur, PT Inbisco Niagatama Semesta, dan PT Fatrapolindo Nusa Industri.

Upaya masuk ke pasar modal tak hanya dilakukan Beni terhadap MiRa, tapi juga Fatrapolindo. Tahun 2004 ia berhasil mengantar Fatrapolindo go public. Tak lama setelahnya, datang investor baru dari Malaysia, Titan Chemical, yang kemudian menguasai hingga 95% kepemilikan saham.

Kenyataannya, bisnis Fatrapolindo memang tumbuh pesat. Kini total produksi Fatrapolindo mencapai 400 ribu ton atau senilai Rp 2,4 triliun. Namun baru-baru ini setelah perkembangan MiRa yang begitu pesat dan dramatis, ”memaksa” Beni melepaskan posisinya di perusahaan ini. ”Saya ingin berkonsentrasi di MiRa,” ujarnya.

Pemain di industri OPP film memang relatif tidak banyak. Saat ini hanya ada lima pabrik yang menjadi pemain utama, yakni: Arga Karya (pemain terbesar); Tria Santosa (Surabaya); PT Fatrapolindo; perusahaan pecahan Arga Karya; dan anak usaha Grup Salim.

Kehadiran sejumlah perusahaan baru dalam grup usaha MiRa sempat melengkapi kejayaan MiRa pada masa itu. Dan jika diperhatikan tahun dan perkongsian yang terjadi, bisa dikatakan keberadaan grup usaha ini bersamaan dengan zaman keemasan konglomerat era Presiden Soeharto. Kejayaan itu ambruk setelah datangnya badai krismon pada 1997/1998. MiRa pun tak lepas dari badai ini.

Korban pertama yang hancur adalah TMS. Dijelaskan Beni, meski awalnya berjalan lancar, belakangan kinerja perusahaan ini terus tergerus dan hampir mencapai titik nadir.

Situasi krismon juga memengaruhi periuk utama MiRa. Tahun 1998 manajemen Indocement diambil alih oleh Heidelbergcement Group dari Jerman. Akibatnya bisa ditebak, MiRa tidak lagi menjadi perusahaan trucking satu-satunya bagi perusahaan semen itu. ”Namun hingga saat ini pendapatan dari Indocement masih dominan atau 55%-60% (dari omset trucking – Red.),” ujarnya sambil menjelaskan Semen Gresik sendiri memberi kontribusi hingga 25% bagi omset di sektor trucking.

Korban berikutnya, armada Continental. Tahun 2000 Continental diputuskan tak beroperasi lagi. ”Sejak krismon harga suku cadang mahal. Juga, saat itu marak penerbangan murah (low cost carrier) dan tingginya penjualan sepeda motor,” paparnya. Alhasil harga karcis bus hampir sama dengan harga tiket pesawat, sehingga banyak penumpang yang memilih naik pesawat ketimbang bus yang waktu tempuhnya lebih lama. Begitu pula dengan sepeda motor. Makin banyak masyarakat yang beralih ke sepeda motor.

Kondisi krismon ini juga menamatkan riwayat bisnis agro milik keluarga Prananto berupa kebun kopi seluas 500 ha yang dibuka pada 1992 di Desa Wonosalam Jombang, Jawa Timur. Beni menceritakan, pada 1998, kebun ini habis dijarah masyarakat. ”Sejak itu kami tak pernah produksi lagi.” Beni menceritakan, saat ini ia sedang menjajaki mengubah lahan itu menjadi tempat wisata agrobisnis, serta wisata miniatur Indonesia dan dunia.

Setelah 10 tahun melalui masa sulit, kini MiRa bangkit kembali. Beni bisa dikatakan sebagai orang yang paling berperan penting dalam tiap babak perjalanan bisnis keluarganya. Mulai dari masa awal berdirinya, kejayaannya, saat sulit, hingga kebangkitannya kembali. Dan masuknya MiRa ke industri migas menjadi momentum kebangkitan. ”Kini perkembangan MiRa superpesat, karena kami sekarang memiliki aset Rp 10 triliun,” ujar Beni bangga. ”Terus terang saya gak mimpi apa-apa untuk MiRa,” katanya lagi sambil tertawa.

Menurut Beni, memiliki perusahaan yang bergelut di sektor migas memang keinginannya sejak 7 tahun yang lalu. Dorongan ini timbul karena MiRa saat itu tak hanya mengangkut semen tapi juga peralatan penunjang industri migas. Dari sini, ia makin tahu banyak tentang migas. Ia mengaku, sebenarnya ia sudah berusaha mencari perusahaan migas yang bisa dibeli.

Alasan Beni terjun ke bisnis migas karena melihat prospeknya bagus. Ia melihat ketergantungan manusia pada migas cukup besar. Ia tak menampik energi alternatif yang kini banyak ditawarkan, tapi ia melihat hal itu belum akan digunakan massal dan masih banyak kendala.

Menurut Beni, perkenalannya dengan Tito sudah cukup lama. “Kami sama-sama tim sukses Pak Wiranto ketika konvensi capres Golkar,” ujar Beni yang kini tercatat sebagai pendiri dan pengurus inti Partai Hanura yang dikomandani Wiranto.

Di MiRa, kepemilikan keluarga Prananto sudah tak seperti dulu lagi. Beni menuturkan, bila sebelumnya kepemilikan keluarganya di MiRa 57%-60%, sekarang hanya tinggal 13,6%, lewat bendera PT Inti Kencana Pranajati, plus 7,36% lewat PT Mitra Murni Expressindo (yang dibagi tiga: Sudwikatmono memiliki saham 15%, Mulyanto Halim 35% dan Djoni 50%).

 

Untuk bisnis keluarganya, Beni mengaku tak punya rencana dan impian yang muluk.

 

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dengan mengakuisisi perusahaan yang bergerak pada bidang migas, MiRa dapat berkembang dengan pesat
  • Dengan resesi yang dialami Indonesia, MiRa pun turut terpuruk atas kejadian tersebut. Namun dengan kemampuan Beni dalam melihat peluang, MiRa dapat kembali bangkit

 

important knowledge in company

 

  • Inovatif
  • Mampu memanfaatkan modal yang tersedia
  • Jeli dalam melihat peluang
  • Mampu memberdayakan sumber daya yang dimiliki
  • Memiliki orang – orang yang mempunyai keahlian

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Dengan kemampuan yang dimiliki orang – orang di belakang MiRa, perusahaan dapat kembali bangkit dari keterpurukan akibat resesi
  • Mampu melihat peluang dengan mengakuisisi perusahaan – perusahaan yang bergerak dalam bidang migas

 

Knowledge Goal

 

  • Meningkatkan kerja sama dengan perusahaan – perusahaan lain
  • Meningkatkan komunikasi dalam rangka pengembangan bisnisnya
  • Memberikan knowledge tentang bagaimana melihat peluang – peluang yang ada

 

This entry was posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *