SaaS, Makin Seksi dan Populer

SaaS, Makin Seksi dan Populer
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Joko Sugiarsono

Software-as-a-Service (SaaS) atau on demand software belakangan tak lagi hanya populer di kalangan perusahaan start-up ataupun kelas gurem, tapi juga di kalangan korporasi besar berskala global. Apa di balik tren ini?

“The End of Software.” Frasa provokatif ini justru dipakai oleh sebuah perusahaan software untuk mempromosikan diri. Namun, seperti halnya provokasi yang diteriakkannya, perusahaan ini memang dikenal sebagai “pemberontak” di industri software. Namanya Salesforce.com, didirikan pada 1999 dan bermarkas di San Francisco. Maka, Anda tak perlu membangun data centre! Anda juga tak harus punya seorang CIO!” Maklum, kala itu konsep SaaS masih baru. Pada awal 2006 perusahaan ini mulai menggunakan jasa Salesforce.com, yang masa instalasinya hanya lima hari. Firma ini menjalankan semua operasional usahanya dengan layanan Salesforce.com. “Kami menggunakannya bukan cuma sebagai alat penjualan,” kata Peter Andrews, pendiri dan CEO perusahaan ini. Pada akhir 2006, aset dalam kelolaannya melonjak dari US$ 3,8 juta menjadi US$ 8,7 juta. “Sebagian besar pertumbuhan itu bantuan dari Salesforce.com,” ucapnya memberi testimoni. Menurut Beach, di masa lalu, software bisnis identik dengan aplikasi yang kompleks, mahal dan sulit diinstal. “Sedangkan sekarang, gelombangnya adalah mencari yang biayanya lebih murah dan mudah digunakan,” ia berujar.Sukses Salesforce.com mengundang munculnya sejumlah vendor SaaS lain: RightNow Technologies (terdaftar di Nasdaq), NetSuite, SuccessFactors dan Concur Technologies. Yang mungkin belum diketahui banyak orang, Procter & Gamble dan General Electric rupanya juga kesengsem dengan model SaaS. Dua raksasa bisnis dunia ini merupakan pelanggan serius Google Apps, aplikasi Online Office Productivity Suite dari maharaja Internet, Google Inc. Untuk bisa menikmati aplikasi ini hanya dibutuhkan waktu persiapan 45 hari. “Buat kebanyakan pelanggan, produk ini memang sudah yang terbaik,” katanya. Contoh kekurangan yang dirasakannya, NetSuite hanya menawarkan laporan yang membandingkan data finansial aktual dengan data finansial anggaran, tapi tidak menyediakan perbandingan antara data finansial tahun yang berjalan dengan data finansial realisasi tahun sebelumnya. Nobel kemudian mengakalinya dengan memanfaatkan spreadsheet Excel. Ini diakui oleh Peter Andrews, pendiri dan CEO Dreambuilder Investments LLC, perusahaan mortgage investment yang bermarkas di New York. Salah satu gawean baru Dreambuilder adalah meresolusi aset mortgage (surat-surat berharga terkait hipotek) yang bermasalah – disebut non-performing mortgage – yang dibelinya dari bencana subprime mortgage yang baru terjadi. “Bisnis ini lagi booming,” kata Andrews mengakui. Menurutnya, tahun ini nilai bisnisnya baru US$ 8 juta, tapi tahun depan diperkirakan US$ 50 juta, dan dalam tiga tahun bisa menjadi US$ 200 juta. Karena itu, ia malah merasa beruntung tak memiliki sistem in-house dan staf TI sendiri. Riset: Siti Sumariyati

Dengan slogan provokatif dan upaya pemasaran yang cerdik (dan mestinya didukung layanan yang memuaskan), bisnis Salesforce.com terus melejit. Pertumbuhan penjualannya setiap tahun rata-rata lebih dari 75%. Perusahaan ini go public di New York Stock Exchange pada 2004. Sejak itu, sahamnya mampu memberikan gain 200% lebih.

Tentu, provokasi Salesforce.com tak akan didengar orang bila di belakang “si anak bawang” industri software ini tak ada nama hebat dan tak ada tawaran luar biasa. Ya, salah seorang co-founder perusahaan dotcom ini adalah Marc Benioff, mantan sales guru di Oracle Corporation, yang hingga kini menjabat CEO Salesforce.com. Adapun tawaran istimewanya (terutama di masa itu) adalah layanan fungsionalitas software dengan pola yang kini dikenal sebagai Software-as-a-Service (SaaS) atau juga disebut on demand software. Istilah ini dipakai untuk membedakan dari software yang dijual secara tradisional dalam bentuk paket (istilahnya package software) atau juga dikenal sebagai on premise software.

Simaklah promosi Benioff pada 2003 mengenai layanan Salesforce.com! “Apa yang terjadi bila kami menciptakan sebuah utilitas untuk otomasi perusahaan?

Benioff meyakini, layanan Salesforce.com akan lebih menarik bila proses penyediaan software sales force automation (SFA)-nya bisa lebih mudah, yakni dalam wujud online service. Dengan SaaS, pengguna tak perlu menginstal disket aplikasi di komputer mereka. Pasalnya, vendor akan meng-hosting aplikasinya buat pengguna. Artinya, pengguna tak perlu memiliki server sendiri yang harganya mahal. Pengguna tinggal mengakses software itu dengan menggunakan Web browser.

Salesforce.com (terdaftar di New York Stock Exchange) boleh dibilang pionir yang mengupayakan software bisnis bisa mudah diperoleh dan dimanfaatkan. Menurut Bruce Francis, VP Strategi Korporat Salesforce.com, inspirasinya datang dari consumer website ternama, Amazon.com dan eBay. “Membuat aplikasi bisnis lebih seperti aplikasi konsumer adalah tujuan kami,” katanya. “Software (bisnis) itu seharusnya simpel, intuitif dan efektif.”

Francis menjelaskan, SaaS sebenarnya bisa melayani, mulai dari perusahaan start-up kelas teri hingga perusahaan berskala global. “Yang pasti mereka bisa men-set up dan menggunakan software seperti itu lebih segera,” katanya. Karena keunggulan dari segi kecepatan dan biaya investasi yang lebih rendah, ia menyebutkan, tingkat kepuasan pelanggannya tinggi. Ia juga mengklaim tingkat atrisi (larinya) klien Salesforce.com kurang dari 1%.

Salah satu klien yang mengaku terpuaskan oleh Salesforce.com adalah Dreambuilder Investments LLC, perusahaan investasi mortgage yang berbasis di New York.

“Contoh semacam itu menunjukkan bagaimana model SaaS bisa menantang standar industri yang sudah berjalan,” kata Murray Beach, Presiden Boston Corporate Finance, investment bank yang fokus pada proses merger dan jual-beli industri TI kelas menengah.

Pada mulanya, para rival SaaS – yakni kalangan vendor software tradisional – berupaya meremehkan model penggunaan software seperti ini dengan menyebutnya terlalu berisiko dan tidak mantap (too risky and unreliable). Para kritikus pun bilang pelanggan tak mungkin memercayakan data mereka yang sensitif keluar dari perusahaan. Ada lagi yang meragukan SaaS tak mungkin bisa melayani kebutuhan perusahaan global yang terus berkembang.

Boleh jadi, semua keraguan itu lebih didasarkan sinisme belaka. Buktinya, boleh dibilang sejak 2007 (atau 8 tahun setelah berdirinya Salesforce.com), perusahaan yang dibangun Benioff ini mampu memasuki jalur utama, dengan menggaet sejumlah perusahaan kakap berskala global, antara lain: Staples, Cisco, Symantec, SprintNextel, Nokia, Polycom, dan Yamaha.

Yang sukses menggaet klien kakap juga bukan cuma Salesforce.com. Kisah sukses lainnya adalah Concur Technologies. Avaya, Citigroup, Daimler-Chrysler, Dell, Ford dan Pfizer bersedia menggunakan software bisnis Corporate Expense Management yang disediakan Concur secara online.

 

Jeffrey Kaplan, Direktur Pengelola ThinkStrategies, konsultan yang berbasis di Amerika Serikat, melihat naiknya tingkat adopsi SaaS di kalangan perusahaan besar karena ada bukti kualitas dan reliabilitas layanan para vendor SaaS. Faktor lain, meningkatnya kemampuan integrasi dan kustomasi SaaS belakangan ini. Alex Barnett, praktisi TI dari Bungee Labs menyebutkan, naiknya popularitas platform SaaS karena didukung oleh tren yang terjadi di dunia TI belakangan ini (lihat Tabel: Delapan Tren Platform SaaS – Red.).

Delapan Tren Platform Software-as-a-Service (SaaS)

1.SaaS hanyalah bagian dari megatren Web.
2.Opini arus besar bilang “yes” terhadap SaaS.
3.Vendor software ramai-ramai menyediakan SaaS.
4.Semua sistem kini divirtualisasi.
5.Ada ledakan Web API (application programming interface).
6.Faktor ekonomi (khususnya resesi) menyuburkan SaaS.
7.Kalangan enterprise dan UKM makin menyukai SaaS.
8.Platform SaaS berkembang luas.

Sumber: Blog milik Alex Barnett (http://alexbarnett.net).

Menurut perkiraan IDC, belanja SaaS bakal membengkak dalam beberapa tahun mendatang, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 21%, untuk mencapai angka total US$ 10,7 miliar pada 2009. Dalam konteks yang berbeda, Gartner menyebutkan bila pada 2005 belanja software bisnis dengan model SaaS hanya 5%, pada 2011 diperkirakan tumbuh menjadi 25%.

Keberhasilan SaaS bukan cuma mengundang pemain baru, tapi juga membuat vendor software besar seperti SAP dan Microsoft mengubah strateginya dengan juga menyediakan layanan on demand software. Belakangan, Google pun tergoda meluncurkan layanan SaaS yang diberi nama Google Apps.

Kendati begitu, Kaplan memberi catatan bahwa para vendor tradisional itu bakal menghadapi tantangan yang berat untuk bisa menyediakan layanan SaaS. “Sebab, mereka harus mendesain ulang aplikasi mereka agar Web-oriented, bisa lebih user-friendly, dan mudah disediakan dengan basis user-by-user,” katanya. Benarkah begitu?

John Goldrick, Manajer Pengembangan Bisnis produk On-Demand CRM pada SAP Asia Pasifik, mengaku pihaknya tak mengalami kesulitan seperti itu. Menurutnya, produk on demand software ini didesain dengan model data konsisten dan arsitektur yang berbasis platform Netweaver milik SAP. “Ini membuat aplikasi On-Demand CRM bisa mengintegrasikan datanya dengan sistem back office SAP,” katanya mengklaim.

Pendekatan Microsoft lain lagi. Raksasa software yang bermarkas di Redmond ini menggaet beberapa mitra untuk meng-hosting aplikasi On-Demand CRM ketimbang melakukannya sendiri.

Tantangan lain yang disebutkan Kaplan, para vendor software tradisional itu mesti merestrukturisasi model revenue-nya guna mengakomodasi sistem pricing SaaS yang menggunakan pola berlangganan. Padahal, seperti diketahui, vendor tradisional seperti SAP, Oracle dan Microsoft itu memperoleh sebagian besar revenue-nya dari melisensikan software paketnya. Menanggapi soal ini, seorang eksekutif Microsoft Business Solution Asia Pasifik menyebutkan bahwa penyediaan hosted On-Demand CRM itu lebih sebagai “and strategy” bukan “or strategy”. “Mitra-mitra kami bisa mengembangkan peluang bisnis mereka dengan menyediakan baik layanan on premise maupun on demand,” kata sang eksekutif.

Soal ini, Kaplan sendiri menyarankan agar vendor software tradisional yang menyediakan layanan SaaS untuk memaketkan layanan on demand-nya sedemikian rupa, sehingga tidak menganibalisasi produk software yang sudah ada atau mengganggu stabilitas finansialnya.

BOKS:

Mereka Bergoyang Riang
dengan SaaS

SaaS diyakini dapat mengatasi keruwetan sistem karena fleksibilitas serta kemudahan dan kemurahan investasinya. Ini dialami Nobel Learning Communities Inc. Perusahaan yang bermarkas di West Chester, Pennsylvania, Amerika Serikat ini mengelola 160 sekolah (terdiri dari sekolah play group, TK, SD, dan sekolah tingkat menengah) di 13 negara bagian. “Perusahaan kami saat itu manajemennya masih kacau. Salah satu kekurangannya pada sisi infrastruktur TI-nya,” kata Tom Frank, Chief Financial Officer NobelFrank tidak berlebihan. Sebab, perusahaan ini memiliki 150 server database dan tiap sekolah punya sistem sendiri, termasuk laporan keuangannya. “Kami jadi susah memahami apa yang sebenarnya kami jual,” ujar eksekutif yang bergabung dengan Nobel pada 2004 ini.

Menurut Frank, yang harus dilakukan pihaknya adalah membuat informasi cukup seragam, sehingga bisa dikontrol. “Kami kemudian melirik SaaS sebagai jalur cepat, tanpa harus mengembangkan software sendiri atau membeli sebuah produk lalu memodifikasinya,” ungkapnya. “Sebab kalau kami membangun atau membeli sistem, kami juga mesti membangun atau menyewa data centre,” katanya memberi alasan. Dengan pilihan ini, Nobel mengontrak NetSuite Inc. untuk menyediakan aplikasi finansial dan CRM yang diakses lewat layanan berbasis Web.

Frank mengaku cukup terkesan dengan hasilnya. Namun, ia tak menutup mata terhadap kekurangan solusi SaaS dari NetSuite itu.

Dalam penilaian Scott Witmayer, Vice President TI Nobel, solusi SaaS juga kerap mengorbankan unsur fleksibilitas. Pasalnya, vendor SaaS biasanya hanya menawarkan satu versi aplikasi. Menurutnya, para pengguna SaaS harus siap hidup dengan aturan 90/10. Maksudnya, “Anda akan memperoleh 90% fungsionalitas yang Anda butuhkan, tapi 10% sisanya, Anda perlu mencari cara lain,” Witmayer menjelaskan.

Toh, di mata Frank, SaaS tetap punya makna penting. “Sebab, Anda tentu ingin mengalokasikan sumber daya TI yang terbatas itu untuk mengembangkan bisnis, bukan infrastruktur TI,” katanya.

Dalam penerapan SaaS tak jarang terjadi bentrokan kepentingan. Maklumlah, meski sudah diperkenalkan di tahun 1999, masih banyak pihak yang awam dengan teknologi SaaS. Contohnya terjadi di Informa Plc., perusahaan penyedia jasa informasi, database, konferensi, dan pelatihan ilmiah ataupun profesional yang berbasis di London. Informa memiliki sejumlah lini produk. Organisasinya menganut pola desentralisasi. Kantornya tersebar di 40 negara, dan perusahaan ini punya beberapa chief information officer (CIO) regional.

Informa memiliki sistem SAP tersentralisasi yang menyediakan fungsi back office seperti akunting. Namun, front office di tiap kantor cabang – tempat berjalannya fungsi penjualan dan pemasaran – “dibebaskan” untuk mencari solusi sendiri-sendiri. Tak jarang sistem yang beragam itu muncul akibat dari sejumlah langkah akuisisi. Pada 2006, karena sistem front office yang campur aduk itu membuat kebingungan dalam penanganan order.

Manajemen Informa kemudian menstandardisasi dengan memanfaatkan aplikasi sales force automation (SFA) dari vendor SaaS beken, Salesforce.com. Banyak sistem penjualan lama yang dienyahkan. “Fungsi-fungsinya kini lebih terintegrasi, lebih aman, dan lebih stabil,” kata CIO Jonathan Earp, yang berkantor di Westboro, Massachussets, Amerika Serikat. Ia juga menyebutkan Informa sanggup menyesuaikan fungsi Salesforce.com dengan lima lini bisnisnya. “Poin yang lebih penting, sistem ini lebih mudah dikelola,” ia menambahkan.

Sayangnya, Earp menceritakan, sang chief marketing officer (CMO) Informa malah memilih untuk “menjahit” sistem pemasaran sendiri (custom development) – yang dibawa dari sebuah proses akuisisi – dengan alasan ada fungsi-fungsi pemasaran yang tak terpenuhi. “Saya sudah jelaskan, ini tidak akan bisa dipakai dalam skala luas, karena akan susah diakses secara remote dari kantor-kantor penjualan. Sebagai CIO, Earp mengaku punya mentalitas “beli sebelum bangun sendiri”. Jalan tengah pun diambil. Sistem Salesforce.com tetap dipakai, sedangkan CMO bekerja dengan sistem custom-nya.

Dua tahun berselang, sistem custom itu pun masih dalam pengembangan. Dan jika dua tahun lalu ada fungsi pemasaran yang dibutuhkan Informa belum bisa terpenuhi oleh Salesforce.com, kini sudah terakomodasi. Artinya, sistem custom khusus pemasaran yang digarap sendiri itu justru kelewahan (redundant). Bagi Earp, SaaS menawarkan keunggulan, baik dibanding sistem custom development maupun implementasi software paket komersial semisal CRM dari SAP ataupun Microsoft. “Sebab, tool pada SaaS mudah di-roll out ke para pengguna dalam waktu yang singkat,” katanya. Di sisi lain, baik mengembangkan sendiri maupun mengimplementasi paket software membutuhkan waktu yang lama untuk mendefinisikan kebutuhan – di mana miskomunikasi kerap terjadi. “Kami, orang-orang TI memang sering mewacanakan model pengembangan cerdas (agile development). Tapi hal itu sulit dilakukan,” kata Earp. “Dengan SaaS, Anda bisa memperlihatkan pada para user sesuatu yang bisa cepat ditanggapi,” ia menambahkan.

Kepraktisan – dalam banyak hal berupa kecepatan – memang salah satu keunggulan yang dirasakan para pengguna solusi SaaS.

Namun menurutnya, perusahaannya bakal kewalahan mengikuti pertumbuhan bisnisnya apabila ia mengandalkan sistem in-house tradisional.

Nah, untuk mengelola bisnisnya, Andrews memanfaatkan sistem Partner Relationship Management (PRM) dari Salesforce.com. Aplikasi SaaS ini dipakai untuk mengelola dan memantau deal investasi yang mengalir di jaringan nasional para mitra Dreambuilder. “Kami menggunakan PRM untuk menjalankan setiap aspek bisnis kami,” ujarnya.

Menurut Andrews, meskipun para user tidak bisa memodifikasi software di belakang SaaS, seorang pengguna nonteknis pun dapat “mengustomasi” aplikasi tersebut. “Pengguna tinggal membuat tabel-tabel yang bisa menjadi bagian database aplikasi,” ia menjelaskan. “Saya, misalnya, punya custom object untuk investor privat saya, lainnya untuk memantau deal-deal saya, ada pula yang dipakai untuk memantau pembeli surat-surat berharga saya, dan sebagainya,” tuturnya mencontohkan.

Perusahaan yang hanya diperkuat 8 orang ini juga menggunakan solusi SaaS lainnya yang bernama MozyPro dari EMC Corp. untuk kebutuhan back up data.

Dengan bisnisnya yang makin besar, akankah Andrews di masa mendatang memiliki sendiri sistem in-house berikut para stafnya? “Tidak!” ia berseru tegas. Alasannya? “Saya membelanjakan sekitar US$ 2 ribu per user per tahun. Jadi, belanja kami setahun diperkirakan US$ 60 ribu. Nilai ini hanya setetes dibanding kalau kami mengeluarkan uang untuk membangun infrastruktur TI,” ia menjawab lugas.

 

Pembahasan SaaS, Makin Seksi dan Populer

 

Latar Belakang

 

“The End of Software.” Frasa provokatif ini justru dipakai oleh sebuah perusahaan software untuk mempromosikan diri. Namun, seperti halnya provokasi yang diteriakkannya, perusahaan ini memang dikenal sebagai “pemberontak” di industri software. Namanya Salesforce.com, didirikan pada 1999 dan bermarkas di San Francisco.Maka, Anda tak perlu membangun data centre! Anda juga tak harus punya seorang CIO!” Maklum, kala itu konsep SaaS masih baru.

Dengan slogan provokatif dan upaya pemasaran yang cerdik (dan mestinya didukung layanan yang memuaskan), bisnis Salesforce.com terus melejit. Pertumbuhan penjualannya setiap tahun rata-rata lebih dari 75%. Perusahaan ini go public di New York Stock Exchange pada 2004. Sejak itu, sahamnya mampu memberikan gain 200% lebih.

Tentu, provokasi Salesforce.com tak akan didengar orang bila di belakang “si anak bawang” industri software ini tak ada nama hebat dan tak ada tawaran luar biasa. Ya, salah seorang co-founder perusahaan dotcom ini adalah Marc Benioff, mantan sales guru di Oracle Corporation, yang hingga kini menjabat CEO Salesforce.com. Adapun tawaran istimewanya (terutama di masa itu) adalah layanan fungsionalitas software dengan pola yang kini dikenal sebagai Software-as-a-Service (SaaS) atau juga disebut on demand software. Istilah ini dipakai untuk membedakan dari software yang dijual secara tradisional dalam bentuk paket (istilahnya package software) atau juga dikenal sebagai on premise software.

Simaklah promosi Benioff pada 2003 mengenai layanan Salesforce.com! “Apa yang terjadi bila kami menciptakan sebuah utilitas untuk otomasi perusahaan?

Whole Problem Case

 

Benioff meyakini, layanan Salesforce.com akan lebih menarik bila proses penyediaan software sales force automation (SFA)-nya bisa lebih mudah, yakni dalam wujud online service. Dengan SaaS, pengguna tak perlu menginstal disket aplikasi di komputer mereka. Pasalnya, vendor akan meng-hosting aplikasinya buat pengguna. Artinya, pengguna tak perlu memiliki server sendiri yang harganya mahal. Pengguna tinggal mengakses software itu dengan menggunakan Web browser.Pada awal 2006 perusahaan ini mulai menggunakan jasa Salesforce.com, yang masa instalasinya hanya lima hari. Firma ini menjalankan semua operasional usahanya dengan layanan Salesforce.com. “Kami menggunakannya bukan cuma sebagai alat penjualan,” kata Peter Andrews, pendiri dan CEO perusahaan ini. Pada akhir 2006, aset dalam kelolaannya melonjak dari US$ 3,8 juta menjadi US$ 8,7 juta. “Sebagian besar pertumbuhan itu bantuan dari Salesforce.com,” ucapnya memberi testimoni.Menurut Beach, di masa lalu, software bisnis identik dengan aplikasi yang kompleks, mahal dan sulit diinstal. “Sedangkan sekarang, gelombangnya adalah mencari yang biayanya lebih murah dan mudah digunakan,” ia berujar.Sukses Salesforce.com mengundang munculnya sejumlah vendor SaaS lain: RightNow Technologies (terdaftar di Nasdaq), NetSuite, SuccessFactors dan Concur Technologies.Yang mungkin belum diketahui banyak orang, Procter & Gamble dan General Electric rupanya juga kesengsem dengan model SaaS. Dua raksasa bisnis dunia ini merupakan pelanggan serius Google Apps, aplikasi Online Office Productivity Suite dari maharaja Internet, Google Inc.

Salesforce.com (terdaftar di New York Stock Exchange) boleh dibilang pionir yang mengupayakan software bisnis bisa mudah diperoleh dan dimanfaatkan. Menurut Bruce Francis, VP Strategi Korporat Salesforce.com, inspirasinya datang dari consumer website ternama, Amazon.com dan eBay. “Membuat aplikasi bisnis lebih seperti aplikasi konsumer adalah tujuan kami,” katanya. “Software (bisnis) itu seharusnya simpel, intuitif dan efektif.”

Francis menjelaskan, SaaS sebenarnya bisa melayani, mulai dari perusahaan start-up kelas teri hingga perusahaan berskala global. “Yang pasti mereka bisa men-set up dan menggunakan software seperti itu lebih segera,” katanya. Karena keunggulan dari segi kecepatan dan biaya investasi yang lebih rendah, ia menyebutkan, tingkat kepuasan pelanggannya tinggi. Ia juga mengklaim tingkat atrisi (larinya) klien Salesforce.com kurang dari 1%.

Salah satu klien yang mengaku terpuaskan oleh Salesforce.com adalah Dreambuilder Investments LLC, perusahaan investasi mortgage yang berbasis di New York.

“Contoh semacam itu menunjukkan bagaimana model SaaS bisa menantang standar industri yang sudah berjalan,” kata Murray Beach, Presiden Boston Corporate Finance, investment bank yang fokus pada proses merger dan jual-beli industri TI kelas menengah.

Pada mulanya, para rival SaaS – yakni kalangan vendor software tradisional – berupaya meremehkan model penggunaan software seperti ini dengan menyebutnya terlalu berisiko dan tidak mantap (too risky and unreliable). Para kritikus pun bilang pelanggan tak mungkin memercayakan data mereka yang sensitif keluar dari perusahaan. Ada lagi yang meragukan SaaS tak mungkin bisa melayani kebutuhan perusahaan global yang terus berkembang.

Boleh jadi, semua keraguan itu lebih didasarkan sinisme belaka. Buktinya, boleh dibilang sejak 2007 (atau 8 tahun setelah berdirinya Salesforce.com), perusahaan yang dibangun Benioff ini mampu memasuki jalur utama, dengan menggaet sejumlah perusahaan kakap berskala global, antara lain: Staples, Cisco, Symantec, SprintNextel, Nokia, Polycom, dan Yamaha.

Yang sukses menggaet klien kakap juga bukan cuma Salesforce.com. Kisah sukses lainnya adalah Concur Technologies. Avaya, Citigroup, Daimler-Chrysler, Dell, Ford dan Pfizer bersedia menggunakan software bisnis Corporate Expense Management yang disediakan Concur secara online.

 

Jeffrey Kaplan, Direktur Pengelola ThinkStrategies, konsultan yang berbasis di Amerika Serikat, melihat naiknya tingkat adopsi SaaS di kalangan perusahaan besar karena ada bukti kualitas dan reliabilitas layanan para vendor SaaS. Faktor lain, meningkatnya kemampuan integrasi dan kustomasi SaaS belakangan ini. Alex Barnett, praktisi TI dari Bungee Labs menyebutkan, naiknya popularitas platform SaaS karena didukung oleh tren yang terjadi di dunia TI belakangan ini (lihat Tabel: Delapan Tren Platform SaaS – Red.).

Delapan Tren Platform Software-as-a-Service (SaaS)

1.SaaS hanyalah bagian dari megatren Web.
2.Opini arus besar bilang “yes” terhadap SaaS.
3.Vendor software ramai-ramai menyediakan SaaS.
4.Semua sistem kini divirtualisasi.
5.Ada ledakan Web API (application programming interface).
6.Faktor ekonomi (khususnya resesi) menyuburkan SaaS.
7.Kalangan enterprise dan UKM makin menyukai SaaS.
8.Platform SaaS berkembang luas.

Sumber: Blog milik Alex Barnett (http://alexbarnett.net).

Menurut perkiraan IDC, belanja SaaS bakal membengkak dalam beberapa tahun mendatang, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 21%, untuk mencapai angka total US$ 10,7 miliar pada 2009. Dalam konteks yang berbeda, Gartner menyebutkan bila pada 2005 belanja software bisnis dengan model SaaS hanya 5%, pada 2011 diperkirakan tumbuh menjadi 25%.

Keberhasilan SaaS bukan cuma mengundang pemain baru, tapi juga membuat vendor software besar seperti SAP dan Microsoft mengubah strateginya dengan juga menyediakan layanan on demand software. Belakangan, Google pun tergoda meluncurkan layanan SaaS yang diberi nama Google Apps.

Kendati begitu, Kaplan memberi catatan bahwa para vendor tradisional itu bakal menghadapi tantangan yang berat untuk bisa menyediakan layanan SaaS. “Sebab, mereka harus mendesain ulang aplikasi mereka agar Web-oriented, bisa lebih user-friendly, dan mudah disediakan dengan basis user-by-user,” katanya. Benarkah begitu?

John Goldrick, Manajer Pengembangan Bisnis produk On-Demand CRM pada SAP Asia Pasifik, mengaku pihaknya tak mengalami kesulitan seperti itu. Menurutnya, produk on demand software ini didesain dengan model data konsisten dan arsitektur yang berbasis platform Netweaver milik SAP. “Ini membuat aplikasi On-Demand CRM bisa mengintegrasikan datanya dengan sistem back office SAP,” katanya mengklaim.

Pendekatan Microsoft lain lagi. Raksasa software yang bermarkas di Redmond ini menggaet beberapa mitra untuk meng-hosting aplikasi On-Demand CRM ketimbang melakukannya sendiri.

Tantangan lain yang disebutkan Kaplan, para vendor software tradisional itu mesti merestrukturisasi model revenue-nya guna mengakomodasi sistem pricing SaaS yang menggunakan pola berlangganan. Padahal, seperti diketahui, vendor tradisional seperti SAP, Oracle dan Microsoft itu memperoleh sebagian besar revenue-nya dari melisensikan software paketnya. Menanggapi soal ini, seorang eksekutif Microsoft Business Solution Asia Pasifik menyebutkan bahwa penyediaan hosted On-Demand CRM itu lebih sebagai “and strategy” bukan “or strategy”. “Mitra-mitra kami bisa mengembangkan peluang bisnis mereka dengan menyediakan baik layanan on premise maupun on demand,” kata sang eksekutif.

Soal ini, Kaplan sendiri menyarankan agar vendor software tradisional yang menyediakan layanan SaaS untuk memaketkan layanan on demand-nya sedemikian rupa, sehingga tidak menganibalisasi produk software yang sudah ada atau mengganggu stabilitas finansialnya.

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Dengan slogan dan upaya pemasaran yang cerdik, salesforce.com mampu menarik para pengguna software
  • Hubungan yang baik dengan mitra – mitra salesforce.com

 

important knowledge in company

 

  • Inovatif
  • Mengutamakan pelanggan
  • Berani bersaing

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • CRM yang baik yang dimiliki salesforce.com

 

Knowledge Goal

 

  • Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan meningkatkan CRM
  • Meningkatkan kualitas produk

 

This entry was posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *