Bintang Gemerlap di Langit Gelap

Bintang Gemerlap di Langit Gelap
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Prih Sarnianto

Ledakan krisis ekonomi global yang membuat langit bisnis gulita telah menampakkan kilau seorang John Alfred Paulson yang dua tahun lalu nyaris tak terdengar namanya. Apa kiat sang jenius sehingga hedge fund yang dikelolanya meraup keuntungan akbar ketika yang lain terpuruk?

Ketika langit gelap, kerlap-kerlip bintang jelas terlihat. Itulah yang saat ini terjadi di jagat bisnis. Di tengah perekonomian yang gulita, sosok tersembunyi semacam John Alfred Paulson tampak gemerlap.

Paulson, misalnya. Pada 2008, ketika industri hedge fund rata-rata anjlok 18%, Paulson & Co. yang dia komandani meroket 25% setelah dengan gesit dia melakukan short trading saham-saham perbankan.

Keberhasilan Paulson ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari sebuah strategi matang yang membuatnya panen raya pada 2007. Melawan arus dengan bertaruh bahwa industri subprime mortgage bakal tumbang, pada 2007 itu dia membawa para investor Paulson & Co. menikmati imbal-hasil 600%. Dana yang dikelola Paulson meroket US$ 15 miliar, dan dia sendiri mengantongi US$ 3,7 miliar — jauh lebih gede ketimbang George Soros yang, melalui spekulasi valuta asing, pada 1990-an meraup US$ 1 miliar dengan tumbangnya poundsterling.

“Jumlah fulus yang diraup Paulson itu,” tulis The Wall Street Journal dan media massa bisnis lainnya, “tertinggi dalam sejarah industri keuangan.”

Sebagai gambaran, tambahan kekayaan pada 2007 tersebut membuat nama Paulson di jajaran 400 Orang Amerika Terkaya versi Forbes meroket dari peringkat ke-165 jadi ke-78. Kekayaan yang US$ 6 miliar lebih juga menempatkan Paulson di peringkat ke-368 Jajaran Billionaires Dunia versi majalah yang sama.

Dalam bisnis yang bersifat zero-sum game itu, kalangan perbankan yang melakukan bisnis dengan Paulson satu per satu berguguran. Ada dilema moral di sini. Kalau Paulson sudah lama tahu bahwa Lehman Brothers dan lain-lain — bank-bank investasi yang semuanya bullish terhadap berbagai sekuritas berbasis subprime mortgage — bakal bangkrut, apakah dia tidak jahat telah mendiamkan saja semua itu terjadi, bahkan secara sistematis mengambil keuntungan dari keruntuhan banyak pemain lain?

Petanyaan keras seperti ini telah lama ditudingkan kepada “binatang ekonomi” yang paling dibenci di Wall Street — para short-seller. Mengambil keuntungan dari spekulasi dalam jumlah besar, para trader yang terus mengubah-ubah portofolio saham mereka guna menghindari settlement inilah yang membuat pasar modal yang gonjang-ganjing jadi ambruk.

Karena Paulson yang paling banyak meraup keuntungan, dia dijuluki “Raja Short-seller.” Jadi, tak mengherankan pula kalau dia yang paling banyak mendapat tudingan sebagai si serakah yang menjerumuskan banyak orang ke jurang kehancuran finansial.

Namun, tak ada pasal yang bisa digunakan buat menjerat Paulson. Semua yang dilakukannya legal dari sudut pandang mana pun. Sebab itu, dia tak merasa bersalah.

Bahkan, dengan santai, Paulson secara rinci menceritakan kepada media massa semua langkah yang membuatnya memecahkan rekor capital gain Soros — pertaruhan besar sejak 2005 bahwa gelembung subprime mortgage bakal meletus. Pertaruhan yang melibatkan miliaran dolar dan lusinan instrumen keuangan yang buntutnya, itu tadi, membuat Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Tak lama kemudian, masih pada September 2008, Merril Lynch melebur ke Bank of America, Morgan Stanley dan Goldman Sach mengubah haluan bisnis jadi perusahaan holding perbankan tradisional, indeks Dow Jones terpuruk.

Kendati tak bersalah di hadapan hukum, tak urung Paulson dan empat datuk industri hedge fund lainnya — Soros, Philip Falcone dari Harbinger Capital Partbers, Ken Griffin dari Citadel Investment Group, dan James Simons dari Renaissance Technologies — dipanggil ke Washington. Oleh U.S. House of Representative, mereka dipaksa jadi “narasumber” untuk dengar pendapat yang diliput secara nasional di hadapan Committee on Oversight and Government Reform yang dibentuk DPR Amerika Serikat itu.

Paulson dan lain-lain itu dipilih karena kelimanya adalah fund manager berpenghasilan tertinggi pada 2007 menurut Majalah Alpha, publikasi resmi asosiasi industri hedge fund di AS. Sebagai pemimpin dengar pendapat adalah Henry Waxman, Demokrat asal California yang pernah memaksa para eksekutif industri tembakau untuk menyatakan, di bawah sumpah, bahwa rokok tak menyebabkan ketagihan.

Di mata para CEO, barisan short-seller di Wall Street tak sekadar menarik keuntungan dari nasib sial yang menghanguskan bisnis kalangan korporasi. Orang-orang semacam Paulson itu, menurut para nakhoda korporasi, ikut mengipasi. Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan Kongres, Dick Fuld (dari Lehman Brothers) dan Alan Schwartz (mantan CEO Bear Stearns) terang-terangan menuduh para short-seller dan penyebar rumor sebagai pihak yang bikin perusahaan mereka gulung tikar.

Tuduhan miring begini tentu saja dibantah oleh kalangan short-seller. Seorang manajer hedge fund bernama Jim Chanos bahkan bercerita bahwa sore sebelum Bear Stearns ambruk, Schwartz menghubunginya. Waktu itu, sebagai CEO Bear Stearns, Schwartz memintanya datang pagi-pagi ke CNBC dan ngomong di Squawk Box, program berita bisnis di televisi berbasis Internet itu, bahwa dia masih nasabah Bear Stearns, uangnya masih dia percayakan di situ dan semua baik-baik saja.

“Alan, bagaimana aku tahu kalau segalanya (di Bear Stearns) baik-baik saja?” jawab Chanos. “Apa memang semuanya baik-baik saja?”

“Jim, kami akan melaporkan rekor laba Senin pagi nanti.”

“Alan, kau sudah bikin aku jadi insider. Aku nggak tanya info ini, dan aku juga yakin ini juga nggak relevan. Dari yang kutahu, para investor sudah mengurangi margin balance dengan kalian, dan itu bikin dana kalian makin ketat.”

“Well, ya, sampai batas tertentu, tapi kami akan baik-baik saja.”

Momen yang diceritakan ini adalah Kamis sore, pukul 6.15, sebelum Bear Stearns kolaps. Dan ironisnya, hanya beberapa saat setelah Chanos melakukan pertemuan dengan Sam Molinaro, CFO Bear Stearns, yang mengaku terus terang: “Kami sudah habis. Kami bangkrut. Kami perlu dana malam ini dan nggak dapat…”

Jadi, masih tutur Chanos, yang dilakukan Schwartz waktu itu adalah “membujuk nasabah terbesar perusahaanya untuk ke CNBC esok paginya dan bilang segalanya baik-aik saja, padahal tidak.” Setelah diam sejenak, dia menegaskan, “Dan kami tahu betul mereka tidak baik-baik saja.”

Singkat cerita, Chanos tidak ke CNBC dan Bear Stearns jatuh bangkrut walau The Fed, Bank Sentral AS, telah berupaya menolong mereka. “Alan Schwartz kukuh mengatakan ‘short-seller yang membuat mereka jatuh’,” ujarnya sengit. “Padahal, siapa yang mereka minta bikin keterangan palsu pada pagi ketika mereka ambruk? Kami, short-seller terbesar dunia. Anda ingin bicara tentang etika dan siapa yang benar dalam masalah ini? It’s unbelievable.”

Dalam hal integritas, Chanos punya cukup reputasi. Dialah, antara lain, yang menguak skandal Enron. Kalau Paulson, dia cuek saja dengan segala macam kritik dan tuduhan miring, termasuk terhadap pilihan karier dan apa yang dilakukannya. Kelahiran 14 Desember 1955 ini memang lebih mengandalkan logika ketimbang emosi dalam menilai setiap keadaan. Simak saja bagaimana dia membukukan sukses pada puncak resesi tahun lalu.

Pada awal 2008, tuturnya, kebanyakan orang yakin bahwa perekonomian AS tak bakal terperosok ke dalam resesi — paling-paling cuma perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan pulih pada paruh kedua tahun itu. Lalu, ketika keadaan belum membaik, orang banyak juga masih optimistis, “Kita memang belum membaik, tapi paling juga masih terkena perlambatan (bukan resesi).”

Paulson heran melihat orang-orang masih begitu optimistis. “Sekarang, setelah terjadi resesi, mereka mengakui terjadinya resesi. Tapi, lagi-lagi, menganggap ‘paling dua atau tiga kuartal lalu pulih’. Jadi, mereka selalu underestimate tingkat keparahannya.”

Pandangan Paulson terhadap kondisi ekonomi AS jauh lebih gelap ketimbang kebanyakan pelaku bisnis. Dia yakin, resesi akan bertahan sampai 2010 dan pengangguran bakal menembus 9% — meningkat cukup tinggi dari 7% saat ini. “Kita masih akan terperosok jauh lebih dalam sebelum mencapai dasar,” ujarnya.

Sekarang, terbukti dengan pemanggilannya oleh Committee on Oversight and Government Reform, suara Paulson mulai didengar. Penyebabnya bukan hanya karena dia berhasil membukukan laba besar ketika rapor hedge fund lain kebakaran. Lebih dari itu, karena cara Paulson meraup laba tersebut, yaitu dengan mengambil posisi berlawanan terhadap sekuritas subprime ketika semua pemain justru berebut memborong. Dia bertaruh bahwa, selain Lehman Brothers, bank-bank lain seperti Washington Mutual dan Wachovia juga akan tumbang.

Jauh sebelum krisis pecah, misalnya, Paulson menanam US$ 22 juta dalam sekuritas credit default swap yang kemudian terbukti mendatangkan pendapatan US$ 1 miliar ketika Pemerintah Federal memilih untuk tak menolong Lehman Brothers. Artinya, setiap dolar yang ditanam membuahkan US$ 45,45.

Hal lain yang menarik dari seorang Paulson adalah kebersahajaannya. Bos Paulson & Co. yang bermarkas di Rockefeller Center, New York, ini lebih suka joging di Central Park ketimbang mengayun tongkat golf di Shinnecock Hills. Bertubuh sedang, dia berpenampilan old-fashioned: mengenakan kacamata bifocals bergagang kulit penyu dan jas warna abu-abu tua. Bicaranya lancar dan cepat, tetapi suaranya pelan.

Penampilan yang bersahaja ini boleh jadi berakar dari asal-usul Paulson yang datang dari keluarga tak kelewat atas di Queens, kawasan New York yang non-elite. Ayahnya, Alfred, adalah keturunan Norwegia yang masuk ke AS melalui Ekuador. Sebagai akuntan, Paulson Senior bisa mendaki tangga karier sampai menduduki kursi CFO pada Ruder & Finn, perusahaan public relations. Akan tetapi, gen yang menumbuhkan Paulson Junior jadi seorang bankir andal agaknya berasal dari kakek pihak ibu, Arthur Boklan, yang ketika pasar modal AS hancur pada 1929 adalah seorang bankir di sebuah perusahaan Wall Street (yang sekarang sudah bangkrut).

Ada persamaan Paulson Jr. dengan Boklan. Di era Depresi Besar, agaknya sang kakek cukup makmur. Buktinya, menurut data sensus, pada 1930 Boklan mampu menyewa apartemen mahal, US$ 220/bulan, di kawasan Manhattan.

Untungnya, walau cukup berada, Boklan tak begitu memanjakan cucunya. Bahkan dialah yang memperkenalkan prinsip-prinsip kapitalisme, termasuk kemandirian, kepada Paulson kecil. Ketika Paulson masih duduk di bangku sekolah dasar, sang kakek mendorong cucunya membeli permen dalam jumlah besar di supermarket lalu menjajakannya secara eceran ke teman-temannya di sekolah dengan harga jauh lebih tinggi.

Dengan berkembangnya “bisnis”, apresiasi Paulson terhadap economies of scale dan kecenderungan komoditas tertentu untuk dibanderol secara salah — kelewat mahal atau terlalu murah — karena keabaian orang banyak juga kian tumbuh. Selain itu, dorongan terus menerus dari sang kakek juga membuatnya kian asyik mendulang dolar. Hubungan dengan kakeknya ini mungkin yang membuat Paulson, kelak sepanjang kariernya, banyak menghabiskan waktu untuk belajar di bawah bimbingan para tokoh Wall Street yang lebih senior.

Selulus SMA di Brooklyn, Paulson kuliah di New York University yang, pada 1970-an, banyak mengadakan seminar populer yang menampilkan John Whitehead, mitra senior pada Goldman Sachs. Di universitas bergengsi ini, Paulson muda juga terpesona oleh ceramah Robert Rubin (yang kemudian jadi Menteri Keuangan pada Pemerintahan Bill Clinton dan sekarang penasihat ekonomi Barack Obama). Waktu itu, diakui sebagai mitra Goldman Sachs paling brilian (dan terkaya), Rubin memperkenalkan Paulson dengan rahasia risk arbitrage. Tak mengherankan, Paulson yang lulus nomor satu di angkatannya pada 1978 nantinya punya visi besar di bisnis arbitrase.

Meneruskan kuliah di Harvard Business School, Paulson mendapat kesempatan bertemu Jerry Kohlberg, kampiun bisnis leveraged-buyout (LBO). Dia belum pernah dengar nama mitra pendiri KKR ini, tetapi seorang kawannya bilang, “Lupakan investment banking. Kau harus dengar ceramah Jerry Kohlberg. Orang itu meraup fulus lebih banyak ketimbang siapa pun di Wall Street.”

Dan Paulson lebih dari sekadar terpukau ketika Kohlberg menggambarkan bagaimana dia mewujudkan LBO dari sebuah perusahaan hanya dengan modal tunai US$ 500 juta dan beroleh pinjaman bank US$ 20 juta dengan aguan aset perusahaan itu sendiri. Setelah disehatkan, perusahaan tersebut dilego dan memberikan keuntungan US$ 17 juta dua tahun kemudian.

Memperoleh gelar MBA sebagai Baker Scholar (penghargaan akademis puncak untuk mahasiswa Harvard yang lulus dengan nilai top 5%), Paulson segera kerja keras cari uang. Waktu itu, pada 1980, pekerjaan paling hot bukanlah investment banker melainkan management consulting. Maka, berbekal predikat summa cum laude, dia dengan mudah masuk Boston Consulting Group (BCG).

Namun Paulson segera sadar, walau gaji awal konsultan jauh lebih besar ketimbang investment banker, seorang mitra di BCG pun tak mungkin mengumpulkan uang yang dia harapkan bisa jadi modal buat mendirikan bisnis sendiri. Maka, ketika pada 1982 bertemu Kohlberg, dia lalu hengkang ke Wall Street.

Oleh Kohlberg, Paulson diperkenalkan dengan Leon Levy dari Oppenheimer & Co. yang segera mengajaknya bergabung ketika Levy mendirikan bisnis baru dengan bendera Oddisey Partners. Dua tahun kemudian, ketika pasar mulai bullish pada 1984, dia melompat ke Bear Stearn sebagai investment-banking associate. Alasan kepindahannya ini sederhana: Paulson muda sadar bahwa di Oddisey dia tak bakal mendapat pelatihan yang dibutuhkannya untuk mengibarkan diri sebagai investment banker yang mumpuni.

Karier Paulson di Bear Stearn cukup melejit. Dalam tempo empat tahun dia telah dipromosikan jadi direktur pengelola. Kendati demikian, dia tak melupakan obsesinya. Maka, pada 1988, Paulson mendirikan bisnis sendiri. Waktu itu usianya baru 32 tahun.

Mulanya, Paulson masuk ke bisnis real estate dan bir ― dia bahkan jadi salah satu investor awal bisnis yang kemudian dikenal sebagai Boston Beer Co. Satu dasawarsa kemudian, dia memutuskan masuk ke bisnis yang memikat paling banyak mantan investment banker dan trader: hedge fund. Ini langkah yang tergolong berani. Maklum, modalnya cuma US$ 2 juta, sangat kecil bahkan untuk ukuran 1994.

Perusahaan hedge fund Paulson diawali dua orang: Paulson sendiri dan seorang asiten. Kantornya di Park Avenue juga mungil, dipakai bareng dengan beberapa perusahaan hedge fund kecil lainnya. Dan, karena serba cekak, bisnisnya juga tumbuh lambat.

Dalam keadaan demikian, Paulson mengelola uangnya dengan sangat hati-hati sehingga rekam jejaknya bagus. Seperti hedge fund umumnya, dia memungut fee 20% dari keuntungan dan 1% dari aset — cukup bagus ketika dana yang dikelola baru US$ 20 juta dan tak membukukan prestasi hebat seperti sekarang.

Memasuki akhir 1990-an, terbentuklah tech bubble yang diikuti dengan pecahnya gelembung bisnis teknologi tersebut pada 2001. Bagi Paulson yang mengambil posisi short terhadap saham perusahaan teknologi yang bertaruh bahwa akan terjadi gelombang merger, bubble burst ini menandai awal masa kejayaannya.

Bagaimana tidak, dengan meletusnya gelembung bisnis teknologi, dana yang dikelola Paulson melejit 5% dan melesat lagi 5% pada 2002. Kenyataan ini menunjukkan kepiawaian Paulson menakhodai perahu bisnisnya sehingga terhindar dari gosong karang yang membuat banyak hedge fund lain karam. Nama Paulson yang berkibar membuat investor membanjir masuk. Jangan heran, pada 2003 dana yang dikelola baru US$ 600 juta, dua tahun kemudian telah menggunung jadi lebih dari US$ 4 miliar.

Sukses ini mendorong Paulson beralih ke instrumen keuangan yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan. Pada 2005 itu, Paulson masih bisa menjaga agar namanya (dan keluarganya) jauh dari publisitas media massa walau mereka telah mulai menikmati simbol status sukses ― rumah besar di kawasan bergengsi, termasuk sebuah di Hamptons, pinggiran Kota New York (rumah tampaknya merupakan satu-satunya kemewahan yang dinikmati Paulson).

Paulson mengendus kemungkinan terjadinya badai ekonomi di pasar kredit perumahan setelah melihat barometer harga yang terus melambung. Pada 2005, keuntungan yang bisa diraup dari investasi di sekuritas yang paling berisiko sudah sangat tak sebanding dengan risiko yang diambil. Harga rumah (dan sekuritas yang terkait), menurutnya, sudah tak masuk akal. Sebab itu Paulson yakin, dia akan menangguk untung lebih gede kalau mengambil posisi short ― bertaruh bahwa harga dari sekuritas yang berisiko itu bakal jatuh.

Di sini, Paulson mengamalkan pelajaran yang diperolehnya sejak awal terjun ke bisnis investasi: “Watch out for the downside; the upside will take care for itself.” Yang harus diperhatikan adalah penurunan pasar, karena pasang naik dengan sendirinya bakal meningkatkan bisnis.

“Kami merasakan bahwa sektor perumahan terus menggelembung. Harga rumah sudah kelewat terapresiasi dan kemungkinan besar akan ambruk,” tutur Paulson. “Kami tentu saja nggak bisa ambil posisi short terhadap rumah, karena itu kami fokus ke kredit perumahan.” Caranya, itu tadi, dengan mengambil posisi short di sekuritas yang dia yakin bakal kolaps dengan ambruknya pasar perumahan.

Peluang terbesar diberikan oleh sekuritas yang paling sampah, the junkiest securities, dari pasar perumahan: subprime. Penetapan harga sekuritas subrime ini,” Paulson meyakinkan, “sungguh absurd,”

Kita lihat saja. Sekuritas subprime mendapat peringkat triple-B ― dengan kata lain hanya setingkat di atas junk atau sampah ― tetapi diperdagangkan hanya satu percentage point di atas Treasury bills yang bebas risiko. Absurditas ini menunjukkan satu hal: adanya kredit murah yang melimpah.

Paulson bisa dipastikan bukan satu-satunya manajer dana yang bertaruh bahwa pasar subprime bakal ambruk. Namun, dialah yang meraup keuntungan terakbar dan dengan hasil paling konsisten dari terpuruknya industri perbankan. Sebab, Paulson mampu mengenali lalu bertindak terhadap hal yang tak terbayangkan orang banyak itu — bahwa kalangan perbankan, yang memborong hampir seluruh sekuritas subprime, tak tahu betul arti sekuritas yang mereka pegang dan berapa nilai sebenarnya.

Dengan demikian, pada dasarnya, peringkat triple-A para raksasa industri perbankan semacam Merrill Lynch, UBS dan Citigroup itu pada dasarnya didukung oleh kolateral yang peringkatnya paling banter subprime, sehingga peringkat dari sekuritas yang diterbitkan para kampiun perbankan tadi tak relevan lagi.

“Para kampiun perbankan itu merasa,” ujar Paulson, “dengan memiliki 100 obligasi triple-B yang berbeda mereka telah meminimalkan risiko dari masing-masing obligasi. Padahal, seluruh obligasi tersebut sama saja.” Ibaratnya, masih menurut Paulson, seperti menyimpan 100 apel yang beracun. “Obligasi tersebut sama geraknya.”

Yang membedakan Paulson dari manajer hedge fund lain adalah, dia tahu betul bahwa tak seorang pun bisa tahu pasti nilai sekuritas yang kompleks tersebut, termasuk para analis di Merrill Lynch, UBS dan Citigroup. Nah, para manajer hedge fund lain tak ada yang berani ambil posisi short terhadap para kampiun perbankan tersebut karena meraka tak percaya bahwa lembaga keuangan yang demikian besar tak sadar terhadap risiko investasinya sendiri.

“Kami yakin bahwa banyak bank dan pialang yang amat overleveraged dengan aset yang sangat berisiko, sehingga penurunan kecil saja dari nilai aset tersebut akan membuat ekuitas tersapu dan utang menumpuk,” tutur Paulson.

Paulson dan para analisnya tahu betul bahwa para raksasa perbankan menyimpan segudang subprime. Anehnya, itu tadi, harga sekuritas yang mereka terbitkan tak jatuh ― artinya, pasar belum tahu apa yang terjadi. Maka, pada 2007, dia membawa Paulson & Co. menginvestasikan sejumlah sangat besar aset ke posisi short, terutama terhadap lembaga keuangan yang paling overleveraged, termasuk Wachovia dan Washington Mutual.

Lalu, ada pula derivatif. Karena semua toxic waste yang ada di neraca mengancam kesehatan bank-bank tadi, Paulson memastikan diri bahwa dia siap. Untuk itu, diborongnya credit default swaps, salah satunya US$ 22 juta terhadap Lehman Brothers — yang pada dasarnya adalah “polis asuransi” yang akan mendatangkan fulus kalau obligasi Lehman gagal bayar.

Walau tak memiliki selembar pun obligasi Lehman (yang dia tahu pasti akan gagal bayar), Paulson memperoleh US$ 1 miliar lebih dari investasinya yang US$ 22 juta itu. Langkah yang sama terhadap bank-bank Inggris, termasuk Royal Bank of Scotland (RBS) dan HBOS yang sangat terpapar kredit perumahan, juga menghasilkan US$ 1 miliar lebih. Ibaratnya, dia mengasuransikan rumah di Aceh dan pantai Lautan Hindia di Thailand, Madagaskar dan sebangsanya yang sama sekali tak dimilikinya, sesaat sebelum tsunami menghantam.

“Kami mengambil posisi short atau long terhadap sebuah perusahaan tergantung pada fundamental keuangan perusahaan tersebut, bukan gerakan indikator keuangan jangka pendek,” Paulson meyakinkan.

Agar tak dicap sebagai seorang robber baron, Paulson menyumbang US$ 15 juta ke Center for Responsible Lending guna membantu para pemilik rumah menghindari penyitaan rumah oleh para pemberi kredit. Testimoninya di DPR pada 13 November 2008 antara lain berisi saran tentang bagaimana Washington membantu kalangan perbankan untuk bangkit kembali ― suatu hal yang menguntungkan semua orang, bukan cuma manajer hedge fund seperti dirinya.

Tak seperti hedge fund lain, ujar Paulson, “Kami tak memasang penghalang atau membatasi nasabah yang ingin menarik dana mereka.” Selain itu, fee yang diminta Paulson & Co. juga besar, 20% plus, kepada para investor yang memiliki investable assets minimal US$ 5 juta (untuk nasabah individu) atau US$ 25 juta (untuk nasabah institusi). Di pihak lain, perusahaan yang memiliki kantor di New York, London dan Hong Kong ini juga ikut menanggung kerugian yang ada.

“Seluruh funds kami ‘high water marks’,” ujar Paulson di hadapan DPR, “artinya, kalau kami bikin dana investor merugi, kami harus menutup kerugian itu dahulu sebelum ikut menikmati keuntungan di masa mendatang.” Lebih dari itu, “Beberapa funds kami juga menerapkan ‘claw back provision’ — yang mewajibkan kami membayar keuntungan dari periode sebelumnya kalau kami merugi secara berturut-turut.”

Masih kurang? “Kami juga menginvestasikan uang kami bersama dengan uang investor,” ujarnya meyakinkan. “Dengan demikian, kami juga sama-sama menanggung rugi dan menikmati keuntungan.” Selain itu, dana yang dikelola boleh dibilang bebas utang.

Paulson terlalu percaya diri dengan kemampuannya sehingga berani ambil risiko besar untuk fee yang juga besar? Mungkin saja. Yang jelas, sepanjang sejarah bisnisnya, nilai aset Paulson & Co. baru turun sekali, yaitu pada puncak krisis moneter Asia 1998 ― dan itu pun cuma 4,9%.

Selain itu, seorang Alan Greenspan juga memercayai keandalan Paulson. Buktinya, pada awal 2008, Chief Bank Sentral AS terlama dan paling berpengaruh ini bersedia menjadi penasihat senior Paulson & Co.

Pembahasan Bintang Gemerlap di Langit Gelap

 

Latar Belakang

 

Ketika langit gelap, kerlap-kerlip bintang jelas terlihat. Itulah yang saat ini terjadi di jagat bisnis. Di tengah perekonomian yang gulita, sosok tersembunyi semacam John Alfred Paulson tampak gemerlap.

Paulson, misalnya. Pada 2008, ketika industri hedge fund rata-rata anjlok 18%, Paulson & Co. yang dia komandani meroket 25% setelah dengan gesit dia melakukan short trading saham-saham perbankan. “Jumlah fulus yang diraup Paulson itu,” tulis The Wall Street Journal dan media massa bisnis lainnya, “tertinggi dalam sejarah industri keuangan.” Sebagai gambaran, tambahan kekayaan pada 2007 tersebut membuat nama Paulson di jajaran 400 Orang Amerika Terkaya versi Forbes meroket dari peringkat ke-165 jadi ke-78. Kekayaan yang US$ 6 miliar lebih juga menempatkan Paulson di peringkat ke-368 Jajaran Billionaires Dunia versi majalah yang sama.

Hal lain yang menarik dari seorang Paulson adalah kebersahajaannya. Bos Paulson & Co. yang bermarkas di Rockefeller Center, New York, ini lebih suka joging di Central Park ketimbang mengayun tongkat golf di Shinnecock Hills. Bertubuh sedang, dia berpenampilan old-fashioned: mengenakan kacamata bifocals bergagang kulit penyu dan jas warna abu-abu tua. Bicaranya lancar dan cepat, tetapi suaranya pelan.

Penampilan yang bersahaja ini boleh jadi berakar dari asal-usul Paulson yang datang dari keluarga tak kelewat atas di Queens, kawasan New York yang non-elite. Ayahnya, Alfred, adalah keturunan Norwegia yang masuk ke AS melalui Ekuador. Sebagai akuntan, Paulson Senior bisa mendaki tangga karier sampai menduduki kursi CFO pada Ruder & Finn, perusahaan public relations. Akan tetapi, gen yang menumbuhkan Paulson Junior jadi seorang bankir andal agaknya berasal dari kakek pihak ibu, Arthur Boklan, yang ketika pasar modal AS hancur pada 1929 adalah seorang bankir di sebuah perusahaan Wall Street (yang sekarang sudah bangkrut).

Ada persamaan Paulson Jr. dengan Boklan. Di era Depresi Besar, agaknya sang kakek cukup makmur. Buktinya, menurut data sensus, pada 1930 Boklan mampu menyewa apartemen mahal, US$ 220/bulan, di kawasan Manhattan.

Untungnya, walau cukup berada, Boklan tak begitu memanjakan cucunya. Bahkan dialah yang memperkenalkan prinsip-prinsip kapitalisme, termasuk kemandirian, kepada Paulson kecil. Ketika Paulson masih duduk di bangku sekolah dasar, sang kakek mendorong cucunya membeli permen dalam jumlah besar di supermarket lalu menjajakannya secara eceran ke teman-temannya di sekolah dengan harga jauh lebih tinggi.

Dengan berkembangnya “bisnis”, apresiasi Paulson terhadap economies of scale dan kecenderungan komoditas tertentu untuk dibanderol secara salah — kelewat mahal atau terlalu murah — karena keabaian orang banyak juga kian tumbuh. Selain itu, dorongan terus menerus dari sang kakek juga membuatnya kian asyik mendulang dolar. Hubungan dengan kakeknya ini mungkin yang membuat Paulson, kelak sepanjang kariernya, banyak menghabiskan waktu untuk belajar di bawah bimbingan para tokoh Wall Street yang lebih senior.

Selulus SMA di Brooklyn, Paulson kuliah di New York University yang, pada 1970-an, banyak mengadakan seminar populer yang menampilkan John Whitehead, mitra senior pada Goldman Sachs. Di universitas bergengsi ini, Paulson muda juga terpesona oleh ceramah Robert Rubin (yang kemudian jadi Menteri Keuangan pada Pemerintahan Bill Clinton dan sekarang penasihat ekonomi Barack Obama). Waktu itu, diakui sebagai mitra Goldman Sachs paling brilian (dan terkaya), Rubin memperkenalkan Paulson dengan rahasia risk arbitrage. Tak mengherankan, Paulson yang lulus nomor satu di angkatannya pada 1978 nantinya punya visi besar di bisnis arbitrase.

Meneruskan kuliah di Harvard Business School, Paulson mendapat kesempatan bertemu Jerry Kohlberg, kampiun bisnis leveraged-buyout (LBO). Dia belum pernah dengar nama mitra pendiri KKR ini, tetapi seorang kawannya bilang, “Lupakan investment banking. Kau harus dengar ceramah Jerry Kohlberg. Orang itu meraup fulus lebih banyak ketimbang siapa pun di Wall Street.”

Dan Paulson lebih dari sekadar terpukau ketika Kohlberg menggambarkan bagaimana dia mewujudkan LBO dari sebuah perusahaan hanya dengan modal tunai US$ 500 juta dan beroleh pinjaman bank US$ 20 juta dengan aguan aset perusahaan itu sendiri. Setelah disehatkan, perusahaan tersebut dilego dan memberikan keuntungan US$ 17 juta dua tahun kemudian.

Memperoleh gelar MBA sebagai Baker Scholar (penghargaan akademis puncak untuk mahasiswa Harvard yang lulus dengan nilai top 5%), Paulson segera kerja keras cari uang. Waktu itu, pada 1980, pekerjaan paling hot bukanlah investment banker melainkan management consulting. Maka, berbekal predikat summa cum laude, dia dengan mudah masuk Boston Consulting Group (BCG).

Namun Paulson segera sadar, walau gaji awal konsultan jauh lebih besar ketimbang investment banker, seorang mitra di BCG pun tak mungkin mengumpulkan uang yang dia harapkan bisa jadi modal buat mendirikan bisnis sendiri. Maka, ketika pada 1982 bertemu Kohlberg, dia lalu hengkang ke Wall Street.

Oleh Kohlberg, Paulson diperkenalkan dengan Leon Levy dari Oppenheimer & Co. yang segera mengajaknya bergabung ketika Levy mendirikan bisnis baru dengan bendera Oddisey Partners. Dua tahun kemudian, ketika pasar mulai bullish pada 1984, dia melompat ke Bear Stearn sebagai investment-banking associate. Alasan kepindahannya ini sederhana: Paulson muda sadar bahwa di Oddisey dia tak bakal mendapat pelatihan yang dibutuhkannya untuk mengibarkan diri sebagai investment banker yang mumpuni.

Karier Paulson di Bear Stearn cukup melejit. Dalam tempo empat tahun dia telah dipromosikan jadi direktur pengelola. Kendati demikian, dia tak melupakan obsesinya. Maka, pada 1988, Paulson mendirikan bisnis sendiri. Waktu itu usianya baru 32 tahun.

Mulanya, Paulson masuk ke bisnis real estate dan bir ― dia bahkan jadi salah satu investor awal bisnis yang kemudian dikenal sebagai Boston Beer Co. Satu dasawarsa kemudian, dia memutuskan masuk ke bisnis yang memikat paling banyak mantan investment banker dan trader: hedge fund. Ini langkah yang tergolong berani. Maklum, modalnya cuma US$ 2 juta, sangat kecil bahkan untuk ukuran 1994.

Perusahaan hedge fund Paulson diawali dua orang: Paulson sendiri dan seorang asiten. Kantornya di Park Avenue juga mungil, dipakai bareng dengan beberapa perusahaan hedge fund kecil lainnya. Dan, karena serba cekak, bisnisnya juga tumbuh lambat.

Dalam keadaan demikian, Paulson mengelola uangnya dengan sangat hati-hati sehingga rekam jejaknya bagus. Seperti hedge fund umumnya, dia memungut fee 20% dari keuntungan dan 1% dari aset — cukup bagus ketika dana yang dikelola baru US$ 20 juta dan tak membukukan prestasi hebat seperti sekarang.

Memasuki akhir 1990-an, terbentuklah tech bubble yang diikuti dengan pecahnya gelembung bisnis teknologi tersebut pada 2001. Bagi Paulson yang mengambil posisi short terhadap saham perusahaan teknologi yang bertaruh bahwa akan terjadi gelombang merger, bubble burst ini menandai awal masa kejayaannya.

Bagaimana tidak, dengan meletusnya gelembung bisnis teknologi, dana yang dikelola Paulson melejit 5% dan melesat lagi 5% pada 2002. Kenyataan ini menunjukkan kepiawaian Paulson menakhodai perahu bisnisnya sehingga terhindar dari gosong karang yang membuat banyak hedge fund lain karam. Nama Paulson yang berkibar membuat investor membanjir masuk. Jangan heran, pada 2003 dana yang dikelola baru US$ 600 juta, dua tahun kemudian telah menggunung jadi lebih dari US$ 4 miliar.

Sukses ini mendorong Paulson beralih ke instrumen keuangan yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan. Pada 2005 itu, Paulson masih bisa menjaga agar namanya (dan keluarganya) jauh dari publisitas media massa walau mereka telah mulai menikmati simbol status sukses ― rumah besar di kawasan bergengsi, termasuk sebuah di Hamptons, pinggiran Kota New York (rumah tampaknya merupakan satu-satunya kemewahan yang dinikmati Paulson).

Whole Problem Case

 

Keberhasilan Paulson ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari sebuah strategi matang yang membuatnya panen raya pada 2007. Melawan arus dengan bertaruh bahwa industri subprime mortgage bakal tumbang, pada 2007 itu dia membawa para investor Paulson & Co. menikmati imbal-hasil 600%. Dana yang dikelola Paulson meroket US$ 15 miliar, dan dia sendiri mengantongi US$ 3,7 miliar — jauh lebih gede ketimbang George Soros yang, melalui spekulasi valuta asing, pada 1990-an meraup US$ 1 miliar dengan tumbangnya poundsterling.

Dalam bisnis yang bersifat zero-sum game itu, kalangan perbankan yang melakukan bisnis dengan Paulson satu per satu berguguran. Ada dilema moral di sini. Kalau Paulson sudah lama tahu bahwa Lehman Brothers dan lain-lain — bank-bank investasi yang semuanya bullish terhadap berbagai sekuritas berbasis subprime mortgage — bakal bangkrut, apakah dia tidak jahat telah mendiamkan saja semua itu terjadi, bahkan secara sistematis mengambil keuntungan dari keruntuhan banyak pemain lain?

Petanyaan keras seperti ini telah lama ditudingkan kepada “binatang ekonomi” yang paling dibenci di Wall Street — para short-seller. Mengambil keuntungan dari spekulasi dalam jumlah besar, para trader yang terus mengubah-ubah portofolio saham mereka guna menghindari settlement inilah yang membuat pasar modal yang gonjang-ganjing jadi ambruk.

Karena Paulson yang paling banyak meraup keuntungan, dia dijuluki “Raja Short-seller.” Jadi, tak mengherankan pula kalau dia yang paling banyak mendapat tudingan sebagai si serakah yang menjerumuskan banyak orang ke jurang kehancuran finansial.

Namun, tak ada pasal yang bisa digunakan buat menjerat Paulson. Semua yang dilakukannya legal dari sudut pandang mana pun. Sebab itu, dia tak merasa bersalah.

Bahkan, dengan santai, Paulson secara rinci menceritakan kepada media massa semua langkah yang membuatnya memecahkan rekor capital gain Soros — pertaruhan besar sejak 2005 bahwa gelembung subprime mortgage bakal meletus. Pertaruhan yang melibatkan miliaran dolar dan lusinan instrumen keuangan yang buntutnya, itu tadi, membuat Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Tak lama kemudian, masih pada September 2008, Merril Lynch melebur ke Bank of America, Morgan Stanley dan Goldman Sach mengubah haluan bisnis jadi perusahaan holding perbankan tradisional, indeks Dow Jones terpuruk.

Kendati tak bersalah di hadapan hukum, tak urung Paulson dan empat datuk industri hedge fund lainnya — Soros, Philip Falcone dari Harbinger Capital Partbers, Ken Griffin dari Citadel Investment Group, dan James Simons dari Renaissance Technologies — dipanggil ke Washington. Oleh U.S. House of Representative, mereka dipaksa jadi “narasumber” untuk dengar pendapat yang diliput secara nasional di hadapan Committee on Oversight and Government Reform yang dibentuk DPR Amerika Serikat itu.

Paulson dan lain-lain itu dipilih karena kelimanya adalah fund manager berpenghasilan tertinggi pada 2007 menurut Majalah Alpha, publikasi resmi asosiasi industri hedge fund di AS. Sebagai pemimpin dengar pendapat adalah Henry Waxman, Demokrat asal California yang pernah memaksa para eksekutif industri tembakau untuk menyatakan, di bawah sumpah, bahwa rokok tak menyebabkan ketagihan.

Di mata para CEO, barisan short-seller di Wall Street tak sekadar menarik keuntungan dari nasib sial yang menghanguskan bisnis kalangan korporasi. Orang-orang semacam Paulson itu, menurut para nakhoda korporasi, ikut mengipasi. Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan Kongres, Dick Fuld (dari Lehman Brothers) dan Alan Schwartz (mantan CEO Bear Stearns) terang-terangan menuduh para short-seller dan penyebar rumor sebagai pihak yang bikin perusahaan mereka gulung tikar.

Tuduhan miring begini tentu saja dibantah oleh kalangan short-seller. Seorang manajer hedge fund bernama Jim Chanos bahkan bercerita bahwa sore sebelum Bear Stearns ambruk, Schwartz menghubunginya. Waktu itu, sebagai CEO Bear Stearns, Schwartz memintanya datang pagi-pagi ke CNBC dan ngomong di Squawk Box, program berita bisnis di televisi berbasis Internet itu, bahwa dia masih nasabah Bear Stearns, uangnya masih dia percayakan di situ dan semua baik-baik saja.

“Alan, bagaimana aku tahu kalau segalanya (di Bear Stearns) baik-baik saja?” jawab Chanos. “Apa memang semuanya baik-baik saja?”

“Jim, kami akan melaporkan rekor laba Senin pagi nanti.”

“Alan, kau sudah bikin aku jadi insider. Aku nggak tanya info ini, dan aku juga yakin ini juga nggak relevan. Dari yang kutahu, para investor sudah mengurangi margin balance dengan kalian, dan itu bikin dana kalian makin ketat.”

“Well, ya, sampai batas tertentu, tapi kami akan baik-baik saja.”

Momen yang diceritakan ini adalah Kamis sore, pukul 6.15, sebelum Bear Stearns kolaps. Dan ironisnya, hanya beberapa saat setelah Chanos melakukan pertemuan dengan Sam Molinaro, CFO Bear Stearns, yang mengaku terus terang: “Kami sudah habis. Kami bangkrut. Kami perlu dana malam ini dan nggak dapat…”

Jadi, masih tutur Chanos, yang dilakukan Schwartz waktu itu adalah “membujuk nasabah terbesar perusahaanya untuk ke CNBC esok paginya dan bilang segalanya baik-aik saja, padahal tidak.” Setelah diam sejenak, dia menegaskan, “Dan kami tahu betul mereka tidak baik-baik saja.”

Singkat cerita, Chanos tidak ke CNBC dan Bear Stearns jatuh bangkrut walau The Fed, Bank Sentral AS, telah berupaya menolong mereka. “Alan Schwartz kukuh mengatakan ‘short-seller yang membuat mereka jatuh’,” ujarnya sengit. “Padahal, siapa yang mereka minta bikin keterangan palsu pada pagi ketika mereka ambruk? Kami, short-seller terbesar dunia. Anda ingin bicara tentang etika dan siapa yang benar dalam masalah ini? It’s unbelievable.”

Dalam hal integritas, Chanos punya cukup reputasi. Dialah, antara lain, yang menguak skandal Enron. Kalau Paulson, dia cuek saja dengan segala macam kritik dan tuduhan miring, termasuk terhadap pilihan karier dan apa yang dilakukannya. Kelahiran 14 Desember 1955 ini memang lebih mengandalkan logika ketimbang emosi dalam menilai setiap keadaan. Simak saja bagaimana dia membukukan sukses pada puncak resesi tahun lalu.

Pada awal 2008, tuturnya, kebanyakan orang yakin bahwa perekonomian AS tak bakal terperosok ke dalam resesi — paling-paling cuma perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan pulih pada paruh kedua tahun itu. Lalu, ketika keadaan belum membaik, orang banyak juga masih optimistis, “Kita memang belum membaik, tapi paling juga masih terkena perlambatan (bukan resesi).”

Paulson heran melihat orang-orang masih begitu optimistis. “Sekarang, setelah terjadi resesi, mereka mengakui terjadinya resesi. Tapi, lagi-lagi, menganggap ‘paling dua atau tiga kuartal lalu pulih’. Jadi, mereka selalu underestimate tingkat keparahannya.”

Pandangan Paulson terhadap kondisi ekonomi AS jauh lebih gelap ketimbang kebanyakan pelaku bisnis. Dia yakin, resesi akan bertahan sampai 2010 dan pengangguran bakal menembus 9% — meningkat cukup tinggi dari 7% saat ini. “Kita masih akan terperosok jauh lebih dalam sebelum mencapai dasar,” ujarnya.

Sekarang, terbukti dengan pemanggilannya oleh Committee on Oversight and Government Reform, suara Paulson mulai didengar. Penyebabnya bukan hanya karena dia berhasil membukukan laba besar ketika rapor hedge fund lain kebakaran. Lebih dari itu, karena cara Paulson meraup laba tersebut, yaitu dengan mengambil posisi berlawanan terhadap sekuritas subprime ketika semua pemain justru berebut memborong. Dia bertaruh bahwa, selain Lehman Brothers, bank-bank lain seperti Washington Mutual dan Wachovia juga akan tumbang.

Jauh sebelum krisis pecah, misalnya, Paulson menanam US$ 22 juta dalam sekuritas credit default swap yang kemudian terbukti mendatangkan pendapatan US$ 1 miliar ketika Pemerintah Federal memilih untuk tak menolong Lehman Brothers. Artinya, setiap dolar yang ditanam membuahkan US$ 45,45.

Company In Globalize Economy :

 

commonly held and contrastive feature

 

  • Kemampuan analisis Paulson yang baik dalam membaca keadaan ekonomi
  • Strategi yang jitu dari Paulson dalam mengambil keputusan – keputusan

 

important knowledge in company

 

  • Kemampuan analisa yang baik
  • Keputusan yang bijak
  • Berani mengambil resiko
  • Membaca peluang

 

cross cultural interfaces & knowledge domain

 

  • Kelihaian Paulson dalam menganalisa keadaan, adalah kehebatan yang dimiliki oleh perusahaan

 

Knowledge Goal

 

  • Share tentang kemampuan dalam menganalisa peluang
  • Share tentang pengetahuan yang dimiliki

 

This entry was posted in 5 Mini Case ( Knowledge Management ). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *